Kesenian Tradisional Macapat Terancam Punah

Oleh Abd Aziz

“Ingsun amamiti anebut asma Yang Sukmo. Rahman mura ing dunya kabhe, Rahim ase ing akherat. Ing sakihi kang amaca ‘Laila ha Illallah Muhammadun Rasulullah”.

Kidung berbahasa Jawa yang dibacakan pujangga Suwamah, warga Desa Larangan Tokol, Kecamatan Larangan, ini mengawali tembang dalam sebuah hajatan yang digelar warga setempat di desa itu.

Kakek yang sudah berusia 70 tahun ini terlihat sangat serius membacakan kata demi kata dalam sebuah kitab bertuliskan huruf Arab berbahasa Jawa halus ini.

“Macapat”. Demikian sebutan jenis kesenian tradisional Jawa, yang menurut catatan sebagian referensi sumber sejarah, jenis kesenian ini muncul pada akhir masa Kerajaan Majapahit dulu.

Setelah tuntas membacakan kata demi kata dalam satu bait kalimat, seorang pria di sampingnya lalu membacakan artinya dengan menggunakan Bahasa Madura dari tembang yang baru saja dibacakan oleh pujangga penembang Suwamah tersebut dalam sebuah kitab yang sering disebut kutab “layang” ini.

“Badhan kaula angabidhi kalabhan nyebut asma Allah (Sukmo). Se ampon apareng pangase sareng panyaporah dari dhunya kantos de’ akherat. Terutama ephon dhe’ sadhaja manusa se ampon amaos kalimat ‘La’ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah,”.

Kamarudin, nama pria berusia 58 tahun ini yang menjadi penerjemah kalimat yang dilantunkan pujangga tembang macapat Suwamah.

Sebagaimana Suwamah, Kamarudin juga merupakan pujangga kesenian tembang macapat. Sebab selain dituntut untuk bisa menerjemah, jenis kesenian ini mengharuskan penembangnya untuk bisa melantunkan tembang, sesuai pakem yang telah ditentukan.

“Artinya, kami mengawali dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, dan yang telah memberikan ampunan bagi umat-Nya di dunia hingga di akhirat kelak. Terutama bagi mereka yang telah membacakan kalimat tauhid (La Ilaha Illallah Muhamadun Rasulullah). “Demikian arti kalimat pembuka yang kami bacakan di awal pembuka tembang macapat itu tadi,” kata Kamarudin seusai kegiatan macapat menjelaskan.

Asal mula
Di antara para pujangga kesenian tembang macapat yang ada di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Madura, Jawa Timur ini, tidak ada yang mengetahui secara pasti asal mula atau sejarah keberadaan jenis kesenian tradisional tersebut.

“Saya tidak mengetahui secara pasti kapan dan pada tahun berapa jenis kesenian ini ada. Yang jelas sejak saya kecil di masa penjajahan Jepang dulu, jenis kesenian ini sudah ada,” kata sesepuh di desa itu yang juga pujangga kesenian tembang macapat, Haji Ridawi.

Namun, kata Ridawi, jenis kesenian tembang macapat yang ada di Madura ini diduga kuat erat kaitannya dengan penyebaran syiar Islam yang disampaikan Walisongo di Pulau Jawa.

Hal itu, karena teks cerita tembang macapat yang ada saat ini berisi kisah-kisah tentang keagamaan, semisal kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW dan kisah-kisah nabi lainnya semisal kisah Nabi Yusuf.

“Namun ada juga kisah-kisah macapat yang menceritakan tentang Pandawa dan Kurawa, sebuah kisah yang biasa ditampilkan dalam lakon pewayangan,” kata Ridawi.

Menurut pengurus pondok pesantren Sumber Anyar, Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan Habibullah Bahwi, dari beberapa sumber referensi di sejumlah kitab-kitab kuno disebutkan, kesenian tembang macapat ini diperkirakan telah ada antara sekitar abad ke-16 hingga abad ke-18 Masehi.

Habibullah Bahwi mengemukakan hal ini sesuai dengan koleksi kitab-kitab kuno dari berbagai disiplin keilmuan yang berhasil diselamatkan di perpustakaan pondok pesantren yang dipimpinnya itu.

“Dalam interval waktu itu, perkembangan ilmu pengetahuan di Nusantara ini memang cukup pesat,” katanya.

Apalagi, katanya, penyebaran agama Islam di Nusantara, termasuk di Pulau Jawa ini melalui pendekatan budaya, semisal wayang kulit dan beragam jenis kesenian lainnya.

Nama dan macam
Menurut pujangga kesenian macapat, Kamarudin, nama “macapat” ini diadopsi dari sistem pembacaan tembang dengan empat suku kata.

“Jadi ‘macapat’ ini berasal dari kata ‘maca papat-papat’ atau membaca empat-empat. Artinya, sistem pembacaannya setiap empat suku kata,” kata Kamarudin menjelaskan.

Ada beberapa macam dalam tembang macapat dengan jumlah metrum bervariatif, mulai dari lima hingga 10 metrum. Seperti, tembang Artateh, Sinum (Senum), Kinanthi, Pangkur, Pocung, Durma, Maskumambang, Asmaradana, Mijil, Jurudemung, Wirangrong, Balabak, Gambuh, Megatruh, Girisa, dan Dhandhanggula.

Menurut teman Kamarudin yang juga pujangga kesenian macapat di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Haji Ridawi, masing-masing tembang ini memiliki metrum dan irama tembang yang berbeda. Seperti tembang Artate sebanyak 12 macam, Asmaradana (Kasmaran) tujuh macam, pocung empat, Kinanthi empat macam dan Pangkur tujuh macam.

“Kalau pada tembang permulaan biasanya tembang Artateh atau tembang Kasmaran,” kata pria yang mengaku mulai belajar tembang macapat ini sejak kelas 3 Sekolah Rakyat (SR), sebutan untuk lembaga pendidikan tingkat SD pada zaman dulu.

Di Madura, termasuk di Pamekasan jenis tembang macapat yang biasa digunakan hanya sekitar tujuh tembang, yakni Artateh, Sinum, Pangkur, Pocung, Kinanthi, Kasmaran dan tembang Maskumambang.

Ia menuturkan, jenis kesenian ini tergolong sulit dipelajari. Selain jenis tembang dan cengkok lagu yang sangat banyak, juga dibutuhkan ketelatenan untuk berlatih.

“Dulu saya dua bulan baru bisa menembang. Itu pun latihannya setiap hari,” tutur Kamarudin.

Macapat di pesantren
Di Pamekasan, salah satu lembaga pendidikan pondok pesantren yang berupaya tetap melestarikan kesenian tembang macapat ini adalah pondok pesantren Sumber Anyar yang juga terletak di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan.

Hampir setiap bulan di pondok ini selalu menampilkan tembang macapat untuk masyarakat sekitar.

Menurut Pengasuh Pondok Pesantren itu, Habibullah Bahwi, pihaknya tetap berupaya mempertahankan kesenian tembang macapat, karena jenis kesenian itu memiliki nilai sejarah dengan penyebaran agama Islam di Nusantara.

Apalagi, kata dia, dalam kisah tembang macapat itu tidak hanya menyajikan cerita-cerita kerajaan dan pergulatan kekuasaan saja, namun juga ada cerita-cerita kenabian, yakni kelahiran Nabi Muhammad SAW.

“Makanya kitab layang dalam kisah tembang macapat ini disebuh ‘Nubuwah’ yang oleh orang Madura disebut Nur Bhuwat,” ujar Habibullah Bahwi.

Istilah Nubuwah, kata dia, merupakan kata padanan dari “Nabi” dan “Kenabian”.

Oleh sebab itu, katanya, pihaknya menganggap perlu budaya leluhur ini tetap dipertahankan.

Terancam punah
Minat warga Madura, termasuk Pamekasan untuk mempelajari kesenian tradisional tembang macapat khususnya kalangan generasi muda hampir dibilang tidak ada lagi.

Menurut Habibullah Bahwi, di pesantrennya saja kegiatan tembang macapat yang digelar di sana oleh kalangan generasi tua, sementara dari kalangan santri sendiri sudah tidak ada yang tertarik untuk mempelajari kesenian ini.

“Hanya para orang tua saja yang saat ini bisa ‘nembang’. Kalau dari kalangan generasi mudah, sudah tidak ada lagi,” kata salah seorang pujangga kesenian tembang macapat di Desa Larangan Tokol, Haji Ridawi.

Menurut Haji Ridawi, selain karena tidak ada upaya struktural yang dilakukan pemerintah melalui dinas terkait, yang juga menjadi salah satu faktor kurangnya minat generasi muda mempelajari jenis kesenian ini, karena macapat memang sulit untuk dipelajari.

“Dulu saya belajar macapat ini di sekolah. Sekarang kan sudah tidak dipelajari lagi,” katanya.

Kasi Pembinaan Seni Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisi, Dinas Pemuda Olahraga dan Kebudayaan (Disporabud) Pamekasan, Halifaturrahman mengakui, kesenian macapat memang telah kehilangan generasi, karena sudah tidak ada lagi generasi muda yang mau mempelajarinya.

Bahkan, kata dia, hal ini tidak hanya terjadi pada kesenian tembang macapat, namun hampir semua jenis kesenian tradisional lainnya.

“Ini memang problem perkembangan kesenian tradisional secara keseluruhan, bukan hanya macapat saja,” ucap Halifaturrahman.

Menurut dia, perkembangan kemajuan teknologi informasi dengan ketersediaan sarana televisi yang setiap saat dan setiap waktu selalu menampilkan jenis kesenian telah mampu menggeser kesenian tradisional yang sudah ada. “Hal semacam ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami,” katanya.

Oleh sebab itu, ujar Halifaturrahman, ke depan perlu dilakukan upaya terstruktur untuk tetap mempertahankan khasanah budaya, termasuk jenis kesenian tradisional yang ada di Madura, termasuk di Pamekasan untuk tetap berkembang.

Salah satunya, kata dia, dengan melakukan ‘rekreasi’ terhadap kesenian tradisional, sehingga jenis kesenian itu bisa tampil dengan menarik, tanpa menghilangkan nilai tradisi yang ada. Sehingga, dengan cara seperti itu, akan banyak generasi muda tertarik untuk mempelajarinya.

“Tapi memang sering kali ada problem, khawatir pakem keseniannya hilang,” katanya.

Menurut Halifaturrahman, di Pamekasan sebenarnya upaya ‘rekreasi’ terhadap kesenian tradisional itu sebagian telah dilakukan, khususnya pada jenis kesenian tari tradisional. Ia menyebutkan seperti tari “badhek mekasen” (batik Pamekasan), dan tari “parabhan pesisir (perawan pesisir).

Tari ‘rondhing’ dan tari ‘topeng gethak’ yang merupakan jenis kesenian tari tradional bernilai sejarah di Pamekasan tersebut, menurut Halifaturrahman, juga mulai ada sentuhan-sentuhan kreativitas untuk berwajah modern.

“Kesenian tembang macapat itu, saya perlu juga melakukan ‘rekreasi’ agar bisa tampil menarik dan diminati kalangan generasi muda,” katanya.

Halifaturrahman menambahkan pemkab melalui Disporabud Pamekasan memang telah melakukan upaya untuk menggali dan mengembangkan kembali jenis kesenian tradisional daerah sebagai ikon khasanah kekayaan budaya di Pamekasan.

Akan tetapi, jika upaya pemerintah hanya sepihak, dan tidak ada upaya dari kalangan seniman tradisional untuk mengubah wajah baru dalam kesenian itu, maka ia yakin tidak akan berhasil secara maksimal. (www.antarajatim.com)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s