Oleh: Abd Aziz
Hidup serba berkecukupan merupakan dambaan hidup semua orang, sebab kemiskinan yang terus mendera pada akhirnya membuka peluang bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang menyimpang, bahkan menjadi ‘kufur’.
“Kadza al-fakru an-yakuna kufron (kemiskinan bisa menyebabkan kekafiran)”. Demikian salah satu ajaran dalam agama yang kerap disampaikan para ulama saat membahas hal-hal yang berkaitan dengan kemiskinan.
Prinsip ingin hidup berkecukupan dan tidak hanya bergantung kepada kedua orangtua dan bahkan ingin membantu keluarga hudup lebih baik, mendorong, Mariana, gadis berusia 18 tahun warga asal Dusun Mandar, Desa Sapeken, Kecamatan Pulau Sapeken Kabupaten Sumenep, Madura, bekerja ke Jakarta menjadi pembantu rumah tangga.
Empat bulan lalu, “Yana” panggilan gadis Pulau Sapeken itu berangkat Jakarta dan menjadi pembantu rumah tangga atas tawaran tetangganya bernama Hadi.
“Hanya satu yang ada dalam benak pikiran saya ketika itu, membantu ekonomi kedua orangtua saya,” katanya.
Bagi Yana, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, bukan jenis pekerjaan baru.
Sebelum berangkat ke Jakarta, menjadi pembantu rumah tangga disana anak pasangan dari suami istri Ahmad dan Bauli alias Luling sebelumnya memang pernah bekerja di Bali, juga dengan jenis pekerjaan yang sama.
“Saya tertarik bekerja di Jakarta, karena upah yang ditawarkan ketika itu lebih besar dari upah sebagai pembantu di Bali,” katanya menuturkan.
Saat bekerja di Bali, Yana hanya diberi upah Rp400 ribu per bulan, sedang tarawan yang disampaikan tetangganya di Jakarta itu sebesar Rp500 ribu per bulan.
Karena tawaran upah yang lebih tinggi Rp100 ribu inilah akhirnya Yana berangkat ke Jakarta, meski ia sendiri tidak memiliki kenalan sama sekali, berbeda dengan di Bali yang memang banyak tetangga dan warga kepulauan itu yang bekerja di sana.
“Bagi saya uang Rp100 ribu sangat besar,” katanya.
Di Jakarta, Yana bekerja pada seorang keluarga keturunan Tionghoa dengan pekerjaan memasak dan merawat dua anak kecil.
Sebagaimana kebiasaan bekerja sebagai pembantu rumah yang tidak mengenal jam kerja, demikianlah yang dialami Yana selama di Jakarta.
Pagi-pagi sekali, ia harus bangun mendahului majikannya mempersiapkan kebutuhan makanan untuk sarapan pagi dan baru istirahat setelah majikannya tidur.
“Kadang masih disuruh bangun jika anak majikan saya menangis di malam hari, untuk memberi ia susu,” tuturnya.
Sakit
Pekerjaan tak mengenal waktu yang dilakukan Yana selama menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta itulah yang pada akhirnya membuat gadis Pulau Sapeken ini jatuh sakit.
Beban batinnya kian bertambah parah, sebab ternyata majikan yang mempekerjakan dirinya sangat galak, bahkan jarang memperbolehkan istirahat.
“Saya sering dimarahi dan dibentak,” katanya sambil meneteskan air mata.
Selama sekitar satu minggu perempuan kampung ini tergolek di tempat tidur dan tidak bisa bekerja, hingga akhirnya majikan yang mempekerjakan gadis berumur 18 tahun itu memulangkan secara paksa dengan dititipkan ke bus Haryanto bernomor polisi B 7677 EG jurusan Jakarta-Madura.
Kondisi tubuh yang lemah dan tidak makan selama di perjalanan dari Jakarta menuju Madura membuat ia pingsan sesampainya di terminal bus Pamekasan.
Derita Yana, kian terasa perih, ketika mengetahui bahwa majikannya hanya memberi uang saku Rp350 ribu selama dua bulan ia bekerja. “Padahal semula perjanjiannya Rp500 ribu tiap bulan,” tuturnya.
Menurut sopir bus Hariyanto, Ibnu Hajar, sejak naik bus dari Kalideres, Jakarta, gadis itu memang terlihat sakit.
Ia jatuh pingsan setelah sampai di terminal Pamekasan setelah menempuh perjalanan sekitar 19 jam dari Jakarta.
Menurut dokter yang menangani Yana, dr Wiwit Mayasari, Yana menderita penyakit tifus, yakni jenis penyakit yang memang disebabkan karena sering telat makan dan terlalu letih.
“Jadi dia pingsan di bus, karena sejak kemarin tidak makan. Jadi badannya lemah,” terang Wiwit.
Perlindungan kerja
Menurut Ketua Komisi A DPRD Pamekasan Hosnan Ahmadi, kasus yang menimpa pembantu rumah tangga asal Sumenep bernama Yana itu sebenarnya hanyalah bagian kecil dari sekian kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga yang terjadi di Tanah Air.
Ia menyatakan, hal itu terjadi karena selama ini perlindungan kerja terhadap pekerja informal, semisal pembantu rumah tangga tersebut, balum mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Semestinya, sambung dia, para pekerja informal seperti itu bisa mendapatkan perlindungan, layaknya pekerja formal lainnya.
“Dan fakta yang selama ini terjadi, kekerasan kerja memang mayoritas menimpa pekerja informal semisal pembantu rumah tangga itu,” katanya menambahkan.
Bahkan politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) Pamekasan ini juga mengusulkan, agar sebaiknya pemerintah juga mengatur jam kerja terhadap para pekerja informal tersebut, termasuk ketentuan cuti dalam satu minggu.
“Meskipun mereka itu berstatus sebagai pembantu, tapi kan mereka bukan robot yang harus bekerja terus menerus selama satu minggu tanpa istirahat,” kata Hosnan Ahmadi menjelaskan.
Kasus yang menimpa Yana, warga asal Pulau Sapeken, Sumenep itu, menurut Hosnan Ahmadi setidaknya bisa membuka mata bagi pemerintah kabupaten di Madura agar mulai sekarang bisa menentukan langkah bagaimana seharusnya seorang pembantu diperlakukan.
“Pemerintah perlu melakukan intervensi dalam hal ini. Jangan kemudian dijadikan alasan pembenar bahwa bekerja di rumah tangga itu merupakan wilayah privasi, lalu bisa berbuat apa saja sesuai keinginan sang majikan,” katanya menjelaskan. (www.antarajatim.com)