Oleh: Abd Aziz
Pamekasan, 19/12 (ANTARA) – Musim kemarau basah yang terjadi pada 2010 ini, menyebabkan produksi garam di Indonesia, termasuk di Madura, Jawa Timur, gagal.
Akibatnya, produksi garam di Indonesia, khusus di Madura yang selama ini dikenal sebagai Pulau Garam, juga turun secara drastis, bahkan menurut perkiraan, produksi garam tahun ini hanya sekitar 5 persen saja.
Presidium Asosiasi Petani Garam Bahan Baku (Aspegab) Madura, Yoyok R Effendi mengatakan, penurunan produksi itu terjadi karena produksi garam lokal Madura berkurang akibat sering turun hujan.
“Tahun ini produksi garam di Madura nyaris gagal total, hanya sebagian kecil saja petani yang memanen garamnya,” ucap Yoyok.
Sementara, Madura merupakan pemasok garam terbesar di Indonesia bagi penyediaan garam konsumsi nasional dibanding daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan.
Rata-rata produksi garam di Madura tidak kurang dari 600.000 ton dengan luas lahan 7.785 hektare.
Luas areal ini meliputi 1.767 hektare di Kabupaten Sumenep, 888 hektare di Pamekasan dan seluas 5.130 hektare di Kabupaten Sampang.
Menurut Yoyok, luas areal garam ini belum termasuk lahan milik PT Garam seluas 5.340 hektare yang ada di tiga kabupaten yakni Sumenep (2.620 hektare), Pamekasan (980 hektare) dan Kabupaten Sampang (1.100 hektare) termasuk di lahan pegaraman IV, Gersik Putih yang juga terletak di Sumenep seluas 640 hektare.
“Jika ditotal luas lahan garam milik petani dengan milik PT Garam mencapai 13.125 hektare dengan total produksi sekitar 900.000 ton per tahun dengan asumsi rata-rata produksi garam per hektare mencapai 70 ton per tahun,” tambahnya.
Sementara kebutuhan garam nasional diperkirakan mencapai 1.250.000 ton per tahun khusus untuk kebutuhan garam konsumsi dan 1.600.000 ton per tahun untuk kebutuhan garam industri.
Selama ini, kekurangan kebutuhan garam konsumsi nasional dipenuhi dari hasil produksi garam dari Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB, NTT dan Sumatera Selatan sebanyak 350.000 ton.
Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan garam industri, pemerintah mengimpor dari Australia dan India.
Namun, akibat cuaca tidak bersahabat karena selalu turun hujan, maka persediaan garam nasional akan berkurang.
“Sekitar 70 persen persediaan garam nasional kita kan dari Madura ini,” kata Yoyok R Effendi menjelaskan.
Butuh Teknologi
Cuaca yang tidak bersahabat di musim kemarau dan sering turun hujan menyebabkan produksi garam di Pulau Madura, gagal.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Pamekasan menyatakan, hanya sekitar 5 persen saja produksi garam di Pamekasan pada musim garam 2010. Ini berarti sekitar 95 persen produksi garam gagal total.
Presidium Asosiasi Petani Garam Bahan Baku (Aspegab) Madura, Yoyok R Effendi menyatakan, ketergantungan produksi garam di Madura ini pada cuaca karena pola produksi yang dilakukan petani masih
bergantung pada cuaca.
“Kami berharap, pemerintah bisa mengembangkan teknologi produksi garam, sehingga bisa membantu para petani garam meningkatkan produski,” ucap Yoyok, menegaskan.
Ia menjelaskan, selama ini sistem produksi garam yang dilakukan para petani di Madura dan di daerah lain di Indonesia pada umumnya, masih menggunakan sistem tradisional, sehingga bergantung pada kondisi cuaca.
Jika cuaca tidak bersahabat, seperti sering turun hujan, maka produksi garam juga akan terganggu, bahkan gagal.
Namun, jika produksi garam menggunakan alat teknologi, ia yakin, produksi garam akan meningkat tajam dan tidak akan lagi bergantung pada cuaca seperti yang selama ini terjadi.
“Selama ini untung tidaknya petani garam kan masih bergantung pada cuaca. Jadi kalau cuaca baik dan tidak sering turun hujan maka produksi garam juga baik. Karena sistem produksinya, kan menggunakan terik matahari,” tuturnya.
Sistem produksi pada petani garam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan petani tembakau dalam hal cuaca.
Jika bagi petani garam cuaca baik, maka demikian juga halnya dengan petani tembakau.
Hanya saja, pada pertanian tembakau sudah ditemukan teknologi budi daya tembakau di bawah atap, dan kini mulai dikembangkan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN), meski sekarang ini belum bisa dinikmati para petani tembakau di daerah, khususnya di Madura.
“Kami berharap, di bidang produksi garam ini ke depan juga bisa seperti itu. Artinya ada teknologi yang juga bisa memproduksi garam dibawah atap,” papar Yoyok R Effendi, berharap.
Dinas Perikanan dan Kelautan Pamekasan Nurul Widiatutik menyatakan, persoalan petani garam selama ini memang bergantung pada cuaca, sebagai jauh ini belum ada terobosan dari pemerintah mengatasi persoalan
tersebut.
Hanya saja, sambung dia, Kementeri Kelautan dan Perikanan kini sudah mengupayakan agar produksi garam kedapan tidak lagi hanya dilakukan secara tradisional, namun perlu dukungan teknologi.
“Memang sudah ada upaya mengarah kesana nantinya,” tutur Nurul, menjelaskan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dalam sebuah kesempatan di Madura menyatakan, pemerintah memang berencana akan mengembangakan teknologi produksi garam ke depan, sehingga produksi garam tidak hanya bergantung cuaca.
“Disamping itu pembinaan dan pemberdayaan terhadap petani garam perlu terus ditingkatkan,” katanya.
Sepanjang 2010 ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengucurkan dana senilai Rp96 miliar sebagai bagian pengembangan dan pemberdayaan petani garam.
Sementara pada tahun 2011 nanti, rencananya akan dikucurkan dana sebesar Rp400 miliar untuk empat puluh sentra garam yang ada di Indonesia, termasuk di Madura sendiri yang selama ini dikenal sebagai Pulau Garam.
“Jangka pendeknya akan kita berdayakan masyarakat, sekaligus pemberian mesin pengolah garam untuk memproduksi dan mengeringkan hasilnya,” katanya.