Sengketa Tanah Ganggu Proses Belajar-Mengajar di Madura

Oleh: Abd Aziz

Pamekasan – Pagi itu, sinar mentari di sekitar Desa Batukarang, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, cerah, secerah wajah siswa SDN I Batukarang yang berangkat dari rumahnya menuju sekolah.
Dengan penuh semangat akan masa depan yang lebih baik, penerus generasi bangsa itu terlihat antusias menuju sekolahnya.

Tapi keceriaan para pelajar desa itu tidak berlangsung lama. Sesampainya di halaman sekolah, mereka tidak bisa berebut masuk ke ruang kelas sebagaimana biasa mereka lakukan setiap hari.
Kayu bersilang dengan paku berukuran besar menempel pada pintu masuk semua ruang kelas. Sekolah yang mereka tempati disegel oleh H Said, warga desa setempat yang memiliki tanah tempat bangunan sekolah itu berdiri.
Menurut H Said, dirinya terpaksa melakukan penyegelan, karena tanah yang ditempati lembaga pendidikan tersebut memang merupakan milik pribadinya. Ia sudah mengusulkan kepada pemerintah setempat memberikan ganti rugi, tapi tak kunjung ditanggapi.

Dia memang bukan pemilik pertama tanah yang ditempati SDN Desa Batukarangan I. Ia ahli waris dari pemilik sebelumnya.

“Saya tahu persis tanah ini memang milik orang tua saya dan sampai sekarang masih tetap. Dulu perjanjiannya saya mau diangkat menjadi PNS jika tanah ini bersedia ditempati SD. Tapi sampai sekarang tidak ada apa-apa,” katanya.

Meskipun pada akhirnya H Said bersedia membuka segel, tapi kejadian pada awal Desember 2008 itu membuat sebagian proses belajar mengajari terganggu.

Segel dibuka setelah melalui upaya penyelesaian yang alot melibatkan jajaran muspika di Kecamatan Camplong Sampang.

Penyegelan lembaga pendidikan itu bukan satu-satunya yang terjadi di Sampang. Kasus yang sama juga terjadi di SDN Robatal I, Kecamatan Robatal Sampang.

Di sana peristiwanya justru lebih parah dari aksi penyegelan di SDN Batukarang I. Sebab pemilik lahan H Subaidi tetap bersikukuh tidak akan membuka segelnya sebelum ada kepastian tentang ganti rugi kepemilikan tanah yang ditempati pihak sekolah.

45 SDN
Data yang disampaikan Kantor Pengelolaan Aset Daerah (KPAD) Sampang menyebutkan, SDN yang hingga kini dibangun di atas tanah milik pribadi jumlahnya mencapai 45, tersebar di 10 Kecamatan.

Rinciannya, sembilan SD di Kecamatan Kedungdung, 13 SD di Kecamatan Robatal, tujuh SD di Kecamatan Pangarengan, tiga SD di Kecamatan Katapang, dua SD di Kecamatan Sokobenah, dua di Kecamatan Karangpenang, satu SD di Kecamatan Camplong, empat SD di Kecamatan Kota dan tiga SD di Kecamatan Jerengik, serta satu SD di Kecamatan Omben.

Wakil ketua DPRD Sampang Mohamad Sayuti menyatakan, melalui panitia anggaran DPRD Sampang dalam APBD 2008 sebenarnya dewan telah mengalokasikan dana untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan lahan pendidikan tersebut senilai Rp1,4 miliar.

Bahkan dewan juga telah merekomendasikan agar pihak eksekutif membentuk tim penyelesaian sengketa dan hal itu sudah dilakukan.

“Yang kami sesalkan karena dana sudah ada dan tim telah terbentuk, kenapa tidak bisa bertindak cepat. Kalau tim bekerja secara optimal, tidak mungkin kasus penyegelan akan terjadi,” katanya.

Sementara Dinas Pendidikan Sampang, mengaku, sebenarnya Disdik telah memproses persoalan tersebut bersama para pemiliki lahan. Tapi mereka tidak mau bersabar.

“Upaya penyelesaian sengketa lahan pendidikan ini sudah diketahui bupati dan sudah dituangkan dalam surat edaran. Dalam waktu dekat ini pasti segera selesai,” kata Kasubdin TK/SD Dinas Pendidikan Sampang Zainal Fatah.

Semua bermasalah
Sengketa lahan yang ditempati lembaga pendidikan tak hanya terjadi di Kabupaten Sampang, tapi juga di tiga kabupaten lain di Madura, Kabupaten Pamekasan, Bangkalan, dan Kabupaten Sumenep.

Bahkan di Kabupaten Pamekasan jumlahnya jauh lebih banyak dibanding tiga kabupaten lain, yakni mencapai 50 persen dari total jumlah lembaga pendidikan negeri, mulai dari tingkat SD hingga SMA.

Salah satunya seperti penyegelahan SDN Blumbungan IV Kecamatan Larangan, baru-baru ini.

SDN yang dibangun di atas tanah milik pribadi Zubairi, warga desa setempat, disegel akibat pemerintah daerah tidak menepati janjinya menjadikan pemilik tahan sebagai tenaga honorer di sekolah itu.

Akibat aksi penyegelan itu, para proses belajar mengajar terpaksa digelar di emperan sekolah selama proses negosiasi antara Pemkab dan pemilik lahan berlangsung.

“Dulu ayah saya Almoh mau memberikan tanah ini untuk ditempati SD karena dijanjikan oleh pemerintah bahwa saya akan dijadikan tenaga honorer dan kemudian diangkat menjadi PNS. Tapi sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Malah saya tidak mendapatkan honor sepersen pun tiap bulan,” kata Zubairi menuturkan.

Hal yang sama juga terjadi di SDN Bulangan Barat Kecamatan Palengaan dan SDN Pamaroh Kecamatan Kadur Pamekasan juga dengan alasan yang sama.

Bupati Pamekasan Kholilurrahman menyatakan, pemerintah akan memberikan perhatian khusus guna mengatasi persoalan itu. Sebab tanah milik pribadi yang ditempati lembaga pendidikan tenyata tidak sedikit.

“Kami saat ini mulai melakukan langkah-langkah penyelesaian. Baik berupa pembebasan lahan ataupun tukar guling tanah yang ditempati SDN tersebut dengan tanah milik pemerintah,” katanya.

Yang juga menjadi persoalan mendasar dalam dunia pendidikan di Pamekasan ini adalah masalah gedung. Sebut saja misalnya di SDN Potoan Daja II Kecamatan Palengaan Pamekasan.

Di sana proses belajar mengajar dengan duduk di lantai sistem sorokan sebagaimana menjadi tradisi pesantren salaf dalam mengaji kitab kuning. Bahkan hampir 80 persen siswanya memakai sandal jepit.

Di Sumenep, sengketa lahan pendidikan SDN misalnya dapat dilihat dari kasus penyegelan di SDN Ambunten Tengah IV, Kecamatan Ambunten.

Sebanyak 113 siswanya terpaksa belajar di rumah penduduk, setelah sekolah tempat mereka belajar disegel warga yang mengaku sebagai pemilik tanah.

Dari sekian kasus penyegelan lembaga pendidikan yang terjadi di Madura selama ini, yang paling parah adalah kasus di SDN Ampara’an 1, Kecamatan Kokop, Bangkalan, pada awal tahun ajaran 2008/2009.

Sejak Agustus lalu para siswa dan gurunya terusir dari gedung sekolahnya tersebut. Mereka terpaksa dipindah ke bekas SDN Ampara’an 4 yang jaraknya lebih dari 1 km dari SDN tersebut.

Kalangan anggota DPRD menilai, penyegalan lembaga pendidikan sekolah dasar yang marak dilakukan selama ini lebih kepada dampak negatif dari pemerintah masa lalu.

Pasalnya, pemerintah di era Orde Baru dinilai tidak memikirkan efek domino yang akan lahir kemudian.

“Dulu pada masa Orda Baru itu kan ada proyek yang disebut dengan inpres. Semua desa seolah-olah dipaksa membuat sekolah meski tanahnya tidak tersedia. Akibatnya aparat desa mencari cara bagaimana harus ada tanah. Ketika reformasi dibuka, dampaknya seperti itu. Warga kan sudah berani menuntut hak-haknya,” kata ketua komisi A DPRD Pamekasan Hosnan Achmadi.

Sebenarnya lanjut ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Pamekasan itu, penyelesaian akan konflik lahan pendidikan sebagaimana terjadi di semua kabupaten di Madura itu dapat diselesaikan dengan beberapa penyelesaian.

Antara lain, meminta pemilik lahan menghibahkan lahannya kepada pemkab untuk kepentingan masyarakat. Yang kedua, membeli lahan warga dengan harga yang layak. Ketiga, mencari lahan lain, selain tanah yang disengketakan tersebut.

Yang terakhir menurut Hosnan negoisasi yang saling menguntungkan dengan dengan pemilik lahan.

“Terus terang kalau tidak segera diselesaikan, tidak segera mencarikan solusi alternatif, pada saatnya, warga yang merasa ditelikung pemerintah bisa saja akan melakukan tindakan-tindakan di luar batas kewajaran. Umumnya mereka itu kan orang desa. Dan itu jelas bisa menjadi bom waktu bagi keberlangsungan dunia pendidikan kita,” kata Hosnan menambahkan.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s