“Aku takut, karena orang-orang itu menyerang orang-orang Syiah lagi”. Begitulah redaksional tulisan tangan Mustofa, pada sebuah kertas berwarna merah berukuran kecil yang digantung pada sebuah ranting kering di pojok ruang penampungan pengungsi korban tragedi kemanusian Sampang.
Mustofa adalah satu dari puluhan anak-anak Syiah yang kini hidup di tempat pengungsian di gedung olahraga (GOR) Wijaya Kusuma, Sampang, setelah rumahnya hangus dibakar massa kelompok penyerang anti-Syiah pada 26 Agustus 2012.
Tulisan Mustofa ini tak lain merupakan ungkapan perasaan atas apa yang ia alami dalam peristiwa penyerangan yang dilakukan sekelompok massa anti-Syiah yang telah menyebabkan rumahnya hangus dibakar kelompok massa penyerang dan membuat orang tuanya tewas.
Ada kesan provokatif, ada pula kesan kebencian, juga kekecewaan pada perasaan Mustofa yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang digoreskannya itu.
Luapan emosi bocah yang kini duduk di bangku kelas IV SDN Karang Gayam 4, Kecamatan Omben, Sampang ini, memang sangat beralasan. Bagaimana tidak?. Rumahnya ludes dibakar oleh kelompok penyerang dan ayahnya tewas dalam peristiwa penyerangan itu.
“Aku tak punya ayah lagi,” tuturnya dengan suara lirih.
Ayahnya, Muhammad Husin alias Pak Hamamah, tewas akibat aksi brutal kelompok penyerang anti-Syiah. Tidak hanya itu, rumah, dapur dan kandang sapi miliknya juga hangus dibakar massa.
Mustofa memang tidak melihat secara langsung peristiwa pembacokan ayahnya oleh massa brutal dari kelompok anti-Syiah itu. Namun, kekerasan yang terjadi ketika itu hingga kini masih tergambar diingatnya.
Lemparan batu yang mengenai genting rumah, ledakan pohon bambu di dapur miliknya yang terbakar kobaran api, serta kepulan asap dari rumah-rumah warga lain di Dusun Nanggernang yang juga dibakar massa, seolah tetap menjadi irama pilu bagi anak berusia 10 tahun ini.
Meski berupaya tersenyum dari rentetan peristiwa menyedihkan dirinya dan keluarganya, namun raut muka menyimpan pilu di wajah bocah yang kini menjadi yatim itu, tak bisa disembunyikan lagi.
Sesekali, ia menggaruk kepalanya, sambil menoleh kiri-kanan, berupaya menutupi kesedihan dari genangan air mata yang mulai menggenangi kelopak matanya.
“Saat ada massa menyerang, ayahku meminta kami bersembunyi. Ibu, saya dan kakak lari bersembunyi ke dalam semak,” kenang Mustofa, sembari berupaya mengusap butiran air mata dengan baju kaos lusuh berwarna abu-abu yang dikenakannya.
Masih terekam dalam ingatan Mustofa, saat penyerangan yang dilakukan oleh kelompok massa anti-Syiah itu menyerang rumahnya.
Ketika itu hari Minggu, masa libur sekolah setelah Hari Raya Idul Fitri 1433 Hijriah.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Mustofa mengisi liburan dengan bermain bersama teman-teman sebaya di kampung itu.
“Saat bermain itu ibu menjemput, menyuruhku segera pulang, dan bersembunyi,” ucapnya menuturkan.
Sementara, ayahnya Muhammad Husin tetap bertahan di rumahnya, bersama kakak kandungnya Muhaimin, hingga akhir ia diketahui meninggal dunia di rumah itu.
Adalah Muhaimin yang menyaksikan secara langsung pembantaian yang dilakukan massa anti-Syiah kepada ayahnya itu. Pemuda berusia 16 tahun ini menuturkan, ayahnya menjadi sasaran amuk massa karena berupaya mempertahankan harta benda miliknya.
Bahkan, beberapa orang penyerang yang membacokkan senjata tajam ke tubuh sang ayah, Muhaimin saat itu menyaksikan secara langsung.
“Massa baru berhenti membacokkan senjata setelah kakak saya yang bernama Sulai mendekap ayah yang sudah bersimbah darah dan menangis histeris,” papar Muhaimin.
Bersama ibunya Jamik, Mustofa dan Akmal bisa meratapi nasib yang dialaminya. Rumah tempat tinggalnya sudah rata dengan tanah, akibat dibakar kelompok penyerang anti-Syiah dan mereka terpaksa menjadi yatim.
Kisah Mustofa, ini hanya segelintir kisah yang dialami 134 anak-anak Syiah dari sekitar 300 warga Syiah yang menjadi korban penyerangan pada 26 Agustus 2012.
Lain Mustofa, lain lagi kisah Akmal, dan Marwah, teman sekelasnya di SDN Karang Gayam 4 yang juga tetangga di Dusun Nanggernang, Desa Karang Gayam.
Kedua bocah ini justru lari menyelamatkan diri ke hutan sebelum melihat massa datang ke Dusun Nanggernang.
“Tapi saya masih mendengar suara gaduh di rumahku hingga akhirnya terlihat dari kejauhan kepulan asap membubung tinggi,” terang Akmal.
Tapi mereka mengaku mendengar dengan jelas suara-suara kegaduhan di rumahnya sebelum akhir ludes dibakar massa.
Trauma
Peristiwa penyerangan yang dilakukan sekelompok massa anti-Syiah di Sampang itu menyisakan trauma yang mendalam tidak hanya bagi Mustofa, tapi bagi semua anak-anak korban kekerasan di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang.
Trauma, rasa takut, dan berbagai ungkapan kekecewaan anak-anak korban kekerasan ini bisa dirasakan dari raut wajah-wajah mereka.
Komite Anak Sampang mengemas berbagai ungkapan perasaan anak-anak Syiah dalam bentuk sebuah tulisan.
Tulisan ungkapan perasaan anak-anak korban penyerangan ini semuanya dikumpulkan dan dipajang dalam sebuah ranting kering yang diberi nama pohon kekecewaan.
Pada pohon kekecewaan itulah anak-anak yang masih polos ini mengungkapkan semua perasaan hatinya melalui torehan pensil berwarna hitam pada selembar kertas merah berukuran 2 x 5 cm.
“Aku ingin hidup,” tulis Akmal, satu dari puluhan anak-anak pengungsi Syiah korban kekerasan.
Rasa trauma, ketakutan dan kekecewaan yang menimpa anak-anak ini menjadi perhatian Komite Anak Sampang (KAS).
Sehari setelah kejadian, LSM yang bergerak di bidang pembinaan dan advokasi anak itu memberikan bimbingan, berupa permainan, serta mengajari mereka bernyanyi.
“Jika anak-anak ini dibiarkan, tanpa ada upaya untuk memulihkan rasa trauma akibat kejadian yang mereka alami, saya khawatir nantinya mereka bisa stres,” kata Ketua KAS, Untung Rifai.
Upaya yang dilakukan KAS tidak hanya sampai di situ. LSM ini juga mendatangkan suka relawan guru untuk memberikan bimbingan pendidikan, hingga terwujudnya kelas darurat bagi anak-anak tak berdosa korban kekerasan kelompok penyerang tersebut.
Tidak hanya KAS, sejumlah aktivis LSM pemerhati anak, sejak dua hari setelah kejadian berdarah itu juga mulai berdatangan ke lokasi pengungsian di gedung olahraga (GOR) Wijaya Kusuma Sampang.
Tak terkecuali anggota Brimob yang memiliki kemampuan mempraktikkan permainan juga turun tangan.
Salah satunya seperti yang dilakukan oleh anggota Brimob Subden 4A Pelopor Medaeng, Briptu David Eka Mahendra. Ia sengaja diundang relawan, untuk menghibur anak-anak Syiah korban tragedi kemanusiaan Sampang, Madura, dengan permainan sulap.
“Kami sengaja mendatangkan anggota Brimob yang memiliki kemampuan bermain sulap agar anak-anak ini bisa terhibur,” tukas anggota relawan kemanusiaan dari Kontras Surabaya, Deny.
Permainan sulap kepada anak-anak Syiah ini sengaja digelar guna menghilangkan rasa trauma dan menarik perhatian mereka.
Apalagi, saat Briptu David hendak mengakhiri permainannya, anak-anak korban kekerasan kelompok anti-Syiah itu memintanya untuk mengulangi permainan.
“Lagi pak, main lagi,” celoteh anak-anak itu serentak.
Karena diminta bermain sulap lagi, anggota Brimob asal Surabaya ini terpaksa melanjutkan permainannya.
Kali ini, David menunjukkan permainan memindahkan uang dari tangan seseorang ke orang lain.
Ia mengeluarkan uang kertas dua lembar bernilai Rp1.000 dan Rp5.000. Uang itu masing-masing dilipat dalam bentuk lipatan yang sama.
Kemudian kedua lembar uang dengan nilai berbeda itu diminta agar dipegang anak Syiah. “Tolong dipegang ya,” ucap David sembari tersenyum.
Selanjutnya, ia mengambil satu dari dua lembar uang kertas yang dipegang dan digenggam erat anak Syiah bernama Akmal ini. Ternyata, uang yang berhasil diambil Rp5.000.
Selanjutnya, David hendak memindahkan uang senilai Rp5.000 itu ke tangan anak yang masih menggenggam uang Rp1.000 itu.
Uang itu selanjutnya ia pegang sembari membaca “basmallah” dan meniup tangannya yang tertutup. Uang yang ia pegang senilai Rp5.000 itu dipindah ke pegangan Akmal.
Uang yang dipegang David berganti menjadi Rp1.000, dan sebaliknya, uang yang dipegang Akmal, berganti menjadi Rp5.000.
“Bismillahirrahmanirrahim, push,” kilahnya, sembari meniup tangannya.
Setelah dibuka, ternyata uang yang dipegang David Rp5.000 berganti menjadi Rp1.000 dan demikian juga dengan uang yang dipegang Akmal berganti menjadi Rp5.000.
Tepuk tangan anak-anak Syiah seketika itu langsung membahana. Mereka umumnya mengaku senang dan tidak takut lagi dengan polisi.
Anggota Brimob Subden 4A Pelopor Medaeng, Briptu David Eka Mahendra ini menyempatkan diri bermain sulap menghibur anak-anak Syiah korban tragedi kemanusiaan di gedung olahraga (GOR) Sampang itu di sela-sela mengantarkan pengungsi yang baru saja dievakuasi dari Dusun Nanggernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben.
“Saya sudah biasa memberikan hiburan dengan permainan sulap di setiap melaksanakan tugas,” ungkapnya menjelaskan.
Ia mengaku, keahlian bermain sulap itu, karena belajar sendiri dengan cara sering menyaksikan pertunjukan sulap di sejumlah stasiun televisi.
“Kalau teman-teman jenuh saat bertugas di lapangan, saya biasanya diminta untuk bermain sulap,” tutur Briptu David.
Ceria
Upaya yang dilakukan para relawan terhadap anak-anak korban kekerasan itu ternyata tidak sia-sia. Hari demi hari, mereka memang terlihat lebih ceria. Senyum terlihat mulai mengembang di bibir-bibir mungil anak-anak yang masih polos tanpa dosa ini.
Hampir setiap saat, tawa lepas kerap terdengar, begitu melihat permainan-permainan yang dilakukan oleh relawan pemandu permainan, dirasa lucu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menilai, anak-anak Syiah korban kekerasan itu sudah tidak trauma lagi. Mereka sudah ceria dan rasa traumanya hilang.
“Ada semangat pada mereka untuk tetap belajar dan mereka sudah bisa berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua,” tegasnya di Sampang setelah meninjau lokasi sekolah darurat di lapangan GOR Wijaya Kusuma.
Menteri juga menegaskan, akan membantu semua kebutuhan pendidikan anak-anak Syiah, selama mereka berada di pengungsian, seperti buku tulis, sepatu, hingga seragam sekolah mereka.
Dalam aksi penyerangan itu, satu orang tewas dan enam orang lainnya luka-luka, serta sebanyak 47 rumah milik warga Syiah di 20 titik di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang.
Satu hal yang perlu digarisbawahi pada tragedi kemanusiaan di Sampang, Madura, yang terjadi pada tanggal 26 Agustus 2012 itu bahwa dibutuhkan keluwesan berfikir untuk melakukan tindak, menetapkan keputusan, ataupun membuat sebuah pernyataan.
Itu karena mereka yang akan menjadi korban adalah orang-orang yang tidak berdosa, termasuk anak-anak, calon generasi bangsa ini. Yang jelas, apapun golongannya, apapun alirannya ataupun mazhab yang dianutnya, mereka tetap warga Indonesia.