Menyemai Benih Perdamaian dari Tragedi Sampang (1)

Tragedi kemanusiaan kembali terjadi di Sampang, Madura, Jawa Timur, 26 Agustus 2012. Satu orang tewas dan enam orang lainnya luka-luka serta sebanyak 47 rumah pengikut aliran Islam Syiah ludes dibakar massa penyerang.

Tidak hanya itu, sedikitnya 282 warga Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, harus dievakuasi. Kini, mereka terpaksa hidup di pengungsian di gedung olahraga (GOR) Wijaya Kusuma, Sampang.

“Pemicu konflik berdarah itu bukan karena perbedaan paham, antara kelompok Islam Sunni dengan Syiah, tetapi karena persoalan pribadi antara pimpinan Syiah Tajul Muluk dengan saudaranya Roisul Hukama yang beraliran Sunni,” ucap Bupati Sampang, Noer Tjahja.


Tetapi, akhirnya meluas menjadi konflik menjurus pertentangan Suku-Agama-Ras dan Antar-golongan (SARA), yakni antara Islam Syiah yang dianut Tajul dengan Sunni, yang merepotkan banyak orang.

Kedua kakak-beradik ini, dulunya sama-sama menganut ajaran Islam Syiah, kemudian terjadi persoalan keluarga, yakni Tajul melarang santrinya Halimah menikah dengan Rois.

Sikap Tajul dalam berupaya menghalangi kakaknya Rois dengan cara menjodohkan santrinya, Abdul Aziz dengan gadis Halimah itu, akhirnya merembet menjadi konflik ideologi.

“Jadi, sebenarnya tidak ada konflik Sunni-Syiah di Sampang ini,” tutur Bupati Noer Tjahja, menegaskan.

Ketua Jamaah Syiah Iklil Almilal mengakui, masalah pribiadi antara Tajul Muluk dengan Roisul Hukama memang menjadi salah satu pemicu renggangnya hubungan kekeluargaan di antara mereka.

Akan tetapi, menurut Iklil, hubungan asmara antara Rois dengan gadis Halimah, bukan satu-satunya penyebab, terjadinya aksi penyerangan terhadap kelompok Islam Syiah di Sampang, Madura.

“Bahwa konflik asmara antara Rois dengan Tajul itu memang benar ada. Tapi itu bukan satu-satunya,” kata Iklil.

Yang menyebabkan adanya gerakan permusuhan hingga akhirnya menyebabkan adanya aksi penyerangan terhadap kelompok Syiah, karena aliran Islam yang ada dipimpin Tajul Muluk itu dianggap sebagai ajaran Islam sesat.

Kalau hanya masalah keluarga, apalagi perempuan, tidak mungkin massa dalam jumlah banyak akan bergerak melakukan penyerangan terhadap warga Syiah.

“Kami mendengar dengan jelas yang mereka sampaikan, bahwa Syiah adalah ajaran yang sesat, dan harus disingkirkan dari Sampang, Madura ini,” kata Iklil Almilal menuturkan.

Lengah
Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Nudirman Munir menilai, tragedi kemanusiaan di Sampang itu terjadi, akibat kepolisian lengah, sehingga terjadi kasus konflik berdarah antarwarga yang kedua kalinya, setelah kasus pertama pada akhir 2011.

“Padahal dalam rapat dengar pendapat, Polda mengatakan bahwa di masing-masing desa sudah ada satu orang polisi. Tapi mengapa kasus berdarah di Sampang ini masih terjadi,” tanya Nudirman Munir saat berkunjung ke lokasi tempat kejadian perkara (TKP) di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Bluuran, Kecamatan Karangpenang.

Memang, kata dia, dari sisi medan, jalan menuju perkampungan warga Syiah sulit. Jalan sempit, terjal dan terletak di daerah perkebunan.

Akan tetapi, kondisi itu tidak seharusnya menjadi alasan konflik berdarah di Sampang terjadi.

Seharusnya, sambung dia, peristiwa konflik Syiah yang pertama harus menjadi perhatian semua pihak, terutama polisi untuk terus memelihari perdamaian di Sampang.

“Kami juga meminta Kapolri benar-benar menaruh perhatian serius dalam kasus Syiah di Sampang ini,” katanya mengungkapkan.

Wakil Ketua BK dari Fraksi Partai Golkar Nudirman Munir ini, merupakan salah satu anggota komisi III DPR RI yang juga ikut melakukan kunjungan ke Sampang, memantau situasi dan kondisi pascabentrok berdarah yang menyebabkan satu orang tewas dan enam orang lainnya luka-luka.

Dalam kesempatan itu, Nudirman juga meminta agar institusi pemerintah terkait seperti Kantor Kementerian Agama (Kemenag) hendaknya melakukan pendekatan serius guna mempercepat proses perdamaian konflik horisontal antaragama di Sampang itu.

Ia juga meminta, penyelesaian kasus di Sampang harus dilakukan secara komprehensif dari berbagai aspek. Baik aspek hukum, sosial dan aspek pendidikan agama.

Senada dengan Nudirman Munir, protes juga disampaikan anggota sejumlah anggota DPRD Jatim, atas tragedi kemanusiaan di Sampang yang menimpa kelompok minoritas di wilayah itu. Salah satunya Badrut Tamam.

Anggota DPRD dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menyatakan, konflik berdarah itu tidak seharusnya terjadi, karena petugas keamanan telah mengetahui bibit permasalah yang terjadi pada kasus pertama akhir 2012.

“Warga Syiah itu adalah warga Indonesia juga. Yang perlu dilakukan pemerintah saya kira adalah berupaya mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai itu,” tukas Badrut Tamam.

Anggota DPRD Jatim dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) asal Pamekasan, ini menyatakan, pemerintah bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat perlu merapatkan barisan guna menyelesaikan konflik Syiah.

Menurut Badrut, konflik yang menyebabkan satu orang tewas dan enam orang lainnya luka-luka itu, sebenarnya merupakan konflik keluarga antara Tajul Muluk dengan adiknya Roisul Hukama.

Akan tetapi dalam perkembangannya, konflik keluarga itu merembet pada persoalan agama yang melibatkan banyak orang.

“Asal mulanya kasus di Sampang itu memang masalah perempuan. Inilah akar permasalahan yang sebenarnya,” katanya menambahkan.

Ketika kasus keluarga tersebut diseret pada persoalan keyakinan aliran agama, maka permasalahannya jelas akan lebih rumit. Perlu tenaga ektra untuk menyelesaikan kasus itu.

Badrut mengemukkan, selain pendekatan persuasif, penegakan hukum harus dioptimalkan. Sebab menurut dia, salah satu penyebab terjadinya tragedi Sampang II itu, karena para pelaku perusakan rumah hanya sebagian yang ditangkap.

“Pada kasus yang pertama itu kan hanya satu orang yang diproses hukum. Puluhan pelaku lainnya kan tidak ada yang ditangkap polisi,” timpalnya menambahkan.

Badrut juga mengatakan, lemahnya penegakan hukum bagi pelaku perusakan dan pembakaran rumah warga Syiah pada kasus pertama, seolah melegitimasi bahwa perusakan diperbolehkan.

“Saya berharap pada tragedi Sampang kedua ini, semua pelaku perusakan, termasuk semua aktor intelektual dalam kasus ini ditangkap dan diproses hukum,” tukas Badrut.

Protes ulama
Protes atas aksi penyerangan terhadap pengikut Islam Syiah ini juga disampaikan para tokoh ulama Madura.

Ulama se-Madura, meminta polisi menegakkan supremasi hukum dalam kasus tragedi kemanusiaan yang menimpa warga Syiah di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran, Sampang.

“Penegakan hukum perlu dilakukan kepada semua pihak yang bersalah dalam kasus kekerasan yang terjadi di Sampang itu,” ujar Koordinator MUI se-Madura, KH Bukhori Maksum, seusai rapat koordinasi dengan para ulama Madura di aula ruang pertemuan SMK Negeri 3 Pamekasan (7/9).

Rapat koordinasi yang melibatkan Badan Silaturahim Ulama Pesantren Madura (BASSRA) dan Forum Komunikasi Ulama (FMU) Madura itu menghasilkan enam poin rekomendasi terkait tragedi kemanusiaan yang terjadi di Sampang, 26 Agustus 2012 itu.

Selain meminta polisi menegakkan hukum kepada semua pelaku tindak kekerasan, para ulama juga meminta Pemkab Sampang agar dalam menyelesaikan korban pada pihak-pihak yang bertikai hendaknya melaksanakan kesepakatan yang disepakati oleh ulama dan umara (pemerintah).

Poin ketiga, para ulama meminta Kepada semua pihak agar menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan kontroversi, provokatif dan tendensius yang bisa memperkeruh suasana.

“Kepada kalangan media, baik media cetak maupun elektronik kami meminta agar ikut menciptakan suasana kondusif, dengan cara menyajikan berita yang berimbang, proporsional, tidak memihak,” kata Bukhori Maksum seperti rilis yang diterima ANTARA, Jumat (7/9) malam.

Koordinator MUI asal Kabupaten Sampang ini juga meminta agar penyajian berita hendaknya disampaikan berdasarkan data dan informasi yang valid dari sumber yang memang berkonpeten.

Musyawarah ulama se-Madura antara MUI, BASSRA dan FMU juga menyinggung soal fatwa MUI Jatim yang menyatakan bahwa aliran Islam Syiah sesat, telah sesuai dengan pedoman pembuatan fatwa MUI.

MUI se-Madura ini ini juga menegaskan, tidak akan pernah menganulir atau mencabut fatwa yang telah dikeluarkan sebelumnya, terkait Syiah, yang oleh sebagian kalangan diduga menjadi salah satu pemicu aksi penyerangan kelompok sunni, terhadap kelompok Islam Syiah.

Pernyataan KH Bukhori Maksum ini, berbeda Bupati Sampang Noer Tjahja yang menyatakan bahwa pokok permasalah kasus di Sampang, adalah persoalan keluarga, bukan masalah paham agama, melainkan masalah keluarga. 

Terlepas dari perbedaan pandangan tentang pokok permasalah kasus Sampang itu, yang jelas tragedi kemanusiaan yang menimpa kelompok minoritas Islam Syiah itu, merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan, baik dari sisi hukuma positif maupun dari sisi ajaran agama. 

“Apapun alasannya, kekesan atas nama agama tetap tidak bisa dibenarkan. Karena kekerasan merupakan bentuk perbuatan terlarang,” kata Dosen Sosiologi Agama pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan, Ali Humaidi, M.Si. (bersambung) (*)


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s