Pascakonflik berdarah itu, berbagai pihak di lingkungan Pemkab Sampang, terus melakukan berbagai upaya pendekatan untuk meredam gejolak massa. Salah satunya seperti yang dilakukan Badan Kesatuan Bangsa (Bakesbang).
Lembaga ini terus berupaya melakukan pendekatan terhadap para ulama dan tokoh masyarakat setempat guna menyelesaikan konflik horizontal di wilayah itu.
“Sampai saat ini, kami terus berupaya melakukan pendekatan agar para ulama di Sampang ini bisa membantu ikut meredam konflik di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang,” kata Kepala Bakesbang Sampang Rudi Setiadi.
Rudi berharap, para ulama bisa membantu menciptakan suasana kondusif di Kabupaten Sampang. Salah satunya dengan cara ikut menahan diri tidak menyampaikan komentar yang bisa menyulut emosi massa, dan memberikan pembinaan kepada masyarakat.
Ia mengemukakan, masyarakat Madura adalah masyarakat yang patuh terhadap para ulama, sehingga apabila para ulama proaktif turun tangan, ia yakin, situasi kondusif di Sampang akan segera terwujud.
Dari sisi pendidikan keagamaan, Kemenag Sampang juga turun tangan secara langsung memberikan pendidikan Al Quran dengan cara mengajari mengaji anak-anak Syiah di Pamekasan.
Kasi Mapenda Kemenag Sampang Abd Hamid menjelaskan bimbingan mengaji kepada anak-anak Syiah korban penyerangan itu, sebagai salah satu upaya agar mereka tetap mendapatkan pendidikan keagamaan yang layak selama berada di penampungan.
Guru ngaji yang diterjunkan untuk membantu memberikan pendidikan mengaji Al Quran kepada anak-anak Syiah korban penyerangan itu, dari berbagai penyuluh di Kemenag Sampang.
“Mereka tetap berhak mendapatkan pendidikan yang layak, sebab mereka itu juga anak-anak bangsa ini,” kata Hamid.
Hamid menjelaskan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pimpinan Islam Syiah tentang rencana Kemenag Sampang memberikan bantuan mendidikan anak-anak Syiah untuk mengaji.
Ia menjelaskan, mereka tidak menolak tawaran Kemenag Sampang, bahkan para pengurus Syiah mengaku senang dengan adanya bantuan itu, karena bisa membantu mendidik, bahkan meringankan beban mereka.
Sejumlah warga Syiah di lokasi pengungsian menyatakan, bantuan pendidikan untuk anak-anak mereka sejauh ini, baru berupa bantuan mainan bagi anak-anak. Sedang bantuan pendidikan mengaji belum ada sama sekali.
Sementara itu, para ustadz guru ngaji dari kelompok Islam Syiah masih sibuk mengurus berbagai keperluan, termasuk kebutuhan para pengungsi selama berada di tempat penampungan.
Beragam pendapat muncul tentang penyebab adanya penyerangan ini. Bupati Sampang Noer Tjahja dan Kapolri Kombes Pol Timur Pradopo menyatakan, karena masalah pribadi, sedangkan sebagian ulama Madura, karena beda aliran dengan dan Syiah dianggap membawa ajaran Islam sesat.
Asumsi tentang adanya ketegangan idelogis antara Islam Syiah dengan Islam Sunni, bisa saja benar. Tapi masalah keluarga adalah fakta lain yang menjadi bagian dari akar konflik bernuansa SARA di Sampang itu.
Benih perdamaian
Terlepas dari dua asumsi itu, sebenarnya ada benih perdamaian antara Sunni dan Syiah di Sampang.
Tidak semua warga Sunni bermusuhan karena beda aliran dengan warga Syiah dan demikian juga sebaliknya.
Sebagian warga Sunni di Desa Karang Gayam, dan Desa Bluuran, sebenarnya hidup rukun dengan warga Syiah yang ada disana. Hidup tolong menolong adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang biasa mereka lakukan.
Salah satunya seperti keluarga Zaidah, warga Dusun Gading Laok, Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang.
Seperti kebanyakan pengikut Syiah lainnya, rumah Zaidah, juga hangus dibakar massa saat penyerangan terjadi pada 26 Agustus 2012. Meski ia berbeda aliran dengan ibunya Sutami, akan tetapi hubungan kekeluargaan mereka tetap terbina dengan baik.
Rumah Zaidah diduga menjadi target pembakaran kelompok massa penyerang, karena suaminya pernah menjadi saksi meringankan kasus pimpinan Islam Syiah Tajul Muluk dalam kasus penistaan agama di
Pengadilan Negeri Sampang beberapa waktu lalu.
“Ibu saya Sunni dan saya pengikut Syiah, tapi hubungan kami tetap baik-baik saja selama ini,” katanya menuturkan.
Lain cerita Zaidah, lain pula cerita Mudawi. Rumah penganut aliran Syiah di Desa Bluuran ini justru selamat dari aksi pembakaran massa, berkat bantuan beberapa orang tetangganya yang beraluran Sunni.
Mudawi sendiri masih memiliki hubungan famili dengan salah seorang korban meninggal dunia akibat aksi penyerangan kelompok massa, Muhammad Husin alias Pak Hamamah.
Ia sendiri memilih untuk tinggal di lokasi pengungsian bersama ratusan warga Syiah lainnya dengan alasan untuk menjaga ladang milik Muhammad Husin, termasuk tanaman tembakau miliknya yang belum dipanen.
Ketua Jamaah Syiah Iklil Almilal menyatakan, sebenarnya hubungan Syiah Sunni di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, terjalin harmonis.
Bahkan sebanyak 15 kepala keluarga dari warga Syiah di dua desa itu, memiliki menantu Sunni dan hubungan mereka hingga kini tetap terjalin dengan baik.
“Masyarakat disana sebenarnya tidak mempermasalah Syiah-Sunni. Kalau dipermasalahkan, tentu orang-orang Syiah ini tidak mau memiliki menantu orang-orang Sunni,” kata Iklil Almilal.
Benih perdamaian antara Syiah dengan Sunni di Sampang, Madura, juga terjadi di kalangan pelajar.
Sebagian anak Syiah selama ini ada yang menempuh pendidikan di sekolah kelompok Islam Sunni dan organisasi keagamaan lainnya, seperti Muhammadiyah.
Anak Syiah yang sekolah di lembaga pendidikan Sunni itu, salah satunya Halimatus Sakdiyah. Ia sekolah di SMA Durratun Najah, lembaga pendidikan swasta milik kelompok Islam Sunni.
“Saya sudah tiga tahun sekolah di sana, dan saat ini duduk di bangku kelas tiga,” katanya, menuturkan.
Halimatus Sakdiyah ini sebenarnya merupakan satu dari beberapa anak-anak Syiah yang sekolah di lembaga pendidikan non-Syiah. Anak lainnya ialah Syaiful.
Ia menjelaskan dirinya pernah mondok di pesantren Muhammadiyah di lembaga Panti Asuhan saat sekolah SMK di Pamekasan.
“Kan Al Quran-nya sama mas. Nabinya juga sama, Nabi Muhammad. Makanya pengurus Panti Asuhan Muhammadiyah dulu tidak mempermasalahkan kami mondok di sana,” kata Syaiful kepada ANTARA, menjelaskan.
Hubungan Syiah dengan organisasi keamanaan dan aliran Islam lain di Madura, selama ini terbangun dengan baik.
Halimatus Sakdiyah mengakui, meski kini tengah terjadi konflik antara Syiah dan kelompok anti-Syiah, namun hubungan dirinya dengan keluarga Sunni di sekolahnya masih terjalin dengan baik.
“Sejak kejadian, memang Halimatus sempat tidak masuk. Tapi sekarang sudah bisa masuk lagi,” kata famili Halimatus Sakdiyah di GOR Sampang, Ahmad.
Kerukunan antara Syiah dan Sunni tidak hanya sebatas pengakuan, akan tetapi merupakan fakta yang sebenarnya terjadi.
“Makanya kami juga heran ketika ada aksi penyerangan seperti itu. Wong di lapangan sana, banyak orang-orang Sunni membantu merapikan puing-puing bangunan Syiah yang dibakar kelompok penyerang itu,” kata anggota Brimob Polda Jatim, Briptu Karim.
Di Pengungsian GOR Wijaya Kusuma Sampang, anak-anak Syiah dan Sunni, juga hidup dengan rukun.
Tidak terlihat adanya permusuhan antara kedua aliran Islam yang berbeda ini, bahkan anak-anak Sunni, sering membantu anak-anak Syiah, dan bermain menemani mereka.
Salah satunya, seperti yang dilakukan Eka Purmawati, siswa SMP Negeri I Sampang, Madura dan teman-teman sekolahnya.
Setiap pulang sekolah, Eka selalu menyempatkan diri untuk sekadar bermain dengan anak-anak Syiah yang tinggal di pengungsian.
“Saya prihatin dengan kondisi mereka. Mereka ini kan anak-anak yang sudah tidak memiliki rumah,” kata Eka.
Tidak hanya bermain, bersama beberapa orang temannya, Eka juga membantu membersihkan sampah berserakan di GOR Wijaya Kusuma Sampang.
Siswi yang masih mengenakan seragam sekolah SMP Negeri I Sampang ini mengaku, kebiasaan bermain dengan anak-anak Syiah sudah sejak beberapa hari lalu.
Tidak terlihat adanya rasa kebencian sedikitpun di wajah anak-anak Sunni ini, meski mereka bermain dengan anak-anak Syiah.
Direktur Central of Religion and Political Studies (Centries) Madura, Sulaisi Abdurrazak menilai, tragedi Sunni-Syiah di Sampang, Madura itu lebih disebabkan karena faktor kecemburuan sebagian tokoh saja yang tidak terima dengan berkembangnya kelompok lain yang berbeda aliran.
Banyaknya pengikut aliran Syiah dianggap sebagai ancaman oleh sebagian ulama Sunni, dan mereka melakukan gerakan tanding dengan cara-cara yang kurang elegan.
Seharusnya, kata Sulaisi, jika memang aliran Syiah dianggap salah atau menyimpang, maka gerakan tanding yang perlu dilakukan tokoh Sunni dengan cara menunjukkan bahwa Sunni adalah aliran yang lebih baik.
“Entah dengan cara dialog, atau debat terbuka mengenai persoalan-persoalan paham yang dianggap berbeda, atau bentuk-bentuk gerakan lain yang bisa menjadi daya tarik ummat untuk mengikutinya. Yang saya pahami Islam itu kan mengajak dengan cara yang baik, bukan dengan cara kekerasan,” katanya menjelaskan.
Di balik tragedi berdarah yang telah menyebabkan 1 orang tewas 6 orang lainnya luka-luka, serta sebanyak 47 rumah warga Syiah hangus dibakar massa itu, Sulaisi mensinyalir ada upaya provokasi yang dilakukan oleh oknum warga, hingga menyebabkan adanya gerakan massa dalam jumlah banyak.
Faktor perselisihan keluarga, bisa saja menjadi salah satu penyebab dalam konflik itu, akan tetapi, ia memperkirakan bukan hal pokok.
Oleh karenanya ia sangat mendukung adanya upaya penegakan hukum dalam kasus itu kepada semua pihak yang terlibat, termasuk penggerak dan pemicu adanya aksi penyerbuan warga Syiah di Desa Karang Garam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuaran, Kecamatan Karangpenang, Sampang.
“Jangan biarkan benih perdamaian Syiah-Sunni di masyarakat Karang Gayam dan Bluuran musnah menjadi permusuhan, hanya karena egoisme aliran,” terang Sulaisi yang juga beralisan Sunni itu.
Selain penegakan hukum, upaya lain yang perlu dilakukan adalah pada pola pendidikan agama.
Sulaisi menilai, timbulnya egoisme aliran keagamaan, sebagaimana terjadi di Sampang salah satunya karena doktrim keagamaan yang cendrung tertutup.
“Tertutup disini, karena mereka hanya mengetahui satu paham atau satu aliran saja, tanpa mengetahui paham-paham lain yang juga pernah ada dan berkembang di dunia Islam. Disinilah terciptanya wawasan sempit keagamaan itu,” kata dia menambahkan.
Sulaisi menyatakan, upaya membentuk wawasan keagamaan yang lebih terbuka dan mampu menerima perbedaan tafsir pemahaman keagamaan yang berbeda, memang membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Tapi saya yakin jika memang ada niat baik dari semua pihak, baik ulama Syiah dan Sunni serta pemerintah setempat, persoalan ini lambat laun akan bisa teratasi. Kita kan malu ketika Islam harus selalu identik dengan kekerasan dalam menyesaikan persoalan,” ujar Sulaisi.
Ketua Dewan Syuro Ahlulbail Indonesia (ABI) Dr Umar Shahab saat menjadi khotib shalat Jumat di GOR Wijaya Kusuma Sampang meminta agar warga Syiah tetap mengulurkan tangan perdamaikan kepada mereka yang telah melakukan penyerangan itu.
“Sebab bagaimanapun juga, mereka itu tetap adalah saudara seiman kita yang percaya pada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW,” terang Umar Shahab. (*)