Pamekasan (Antara Jatim) – “Tuhan, aku ingin tanya apakah nilai-nilai agama-Mu itu tetap atau berubah-ubah. Tuhan, mana saja dari ajaran-Mu itu yang benar-benar fundamental yang tidak bisa berubah lagi, yang harus menjadi pedoman dalam perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat?”
“Saya kira pemasangan ijmak dalam deretan sumber pembinaan hukum berupa Quran, Sunnah, ijmak, sudah bukan waktunya lagi. Dalam dunia yang cepat berubah, dan individualisme makin menonjol, cukuplah dengan Quran dan Sunnah. Dan biarlah tiap orang memahami Quran dan Sunnah itu menurut dirinya sendiri.”
Ungkapan di atas merupakan salah satu kegelisahan pemikiran Wahid tentang Tuhan dan Islam sebagai sumber nilai sebagaimana tertuang buku berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam”.
Pemuda asal Kabupaten Sampang, Madura, ini mengabadikan kegelisahan pemikirannya dalam bentuk catatan harian.
Islam modern, serta materialisasi nilai keagamaan yang sesuai dengan konteks kekinian, selalu mendominasi pikiran Wahib dalam proses pencarian jati diri mencari akan hakikat kebenaran, yakni kebenaran menurut Sang Pencetus Nilai, yakni Allah.
Wahib meyakini, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat berkembang, maka seharusnya, menurut dia, hukum-hukum Islam juga berkembang. Yang halal dan haram saat ini, seharusnya tidak sama dengan ketentuan halal dan haram pada tiga abad lalu.
Pandangan Wahib ini bertumpu pada konsep teologi bahwa kemutlakan hanya milik Allah, sedangkan segala seuatu selain Allah adalah nisbi dan selalu mengalami perubahan, karena hukum dasar segala yang ada selain Allah adalah perubahan itu sendiri.
Buku terbitan lama setebal 404 halaman ini merupakan catatan harian Ahmad Wahib yang dibukukan oleh temannya sesama aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Djohan Effendi setelah Wahib meninggal dunia akibat mengalami kecelakaan lalu lintas.
Membaca buku ini, kita diajak untuk ikut berfikir, ikut menjawab kegelisahan-kegelisaan yang dialami Wahib yang pernah aktif sebagai wartawan ini. Sebagai catatan harian, tentu banyak tulisan yang tidak utuh, sebagaimana tulisan yang sengaja disusun penulisnya untuk dibukukan.
Namun demikian, letupan pemikiran Wahib seperti pemikiran di luar bingkai pemikiran pada umumnya, terutama pada hal-hal yang oleh sebagian orang dianggap tabu dalam hal ke-Islam-an, dan Ketuhanan.
“Akan tetapi, saya rasa, bagaimanapun keyakinan kita masing-masing, catatan harian almarhum Ahmad Wahib ini cukub mengesankan. Bahkan mungkin akan merangsang dan menggoda pikiran kita,” kata dosen IAIN Sunan Kalijaga HA Mukti Ali dalam pengantar buku itu.
Buku yang peredarannya sempat dinyatakan terlarang oleh sebagian kelompok Islam karena dinilai terlalu radikal ini terdiri dari lima bab, termasuk bab khusus yang menyajikan berbagai komentar dari para tokoh dan kalangan intelektual.
Bab I tentang Ikhiar Menjawab Masalah Keagamaan, lalu Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air pada Bab II, dan Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan pada Bab III. Sedangkan pada Bab IV membahas tentang Pribadi yang Selalu Gelisah, serta Sejumlah Komentar tokoh disajikan buku itu pada Bab V.
Pada Bab I penyusun buku, Djohan Effendi menyajikan berbagai catatan Ahmad Wahib tentang masalah-masalah keagamaan, baik yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an, kemanusiaan, tata nilai dan alam.
Di sini Ahmad Wahib bergelut dengan berbagai konsep dasar kepercayaan, serta hakikat akan hubungan Tuhan, manusia dan alam, berikut tata nilai yang berkembang, serta pentingnya ke-Islam-an dalam konteks kekinian.
Pada Bab II, lebih banyak mengupas tentang politik yang berkembang kala itu, serta kondisi sosial dan budaya yang dilihat, dirasakan dan dialami Ahmad Wahib. Sedangkan pada Bab II, banyak disajikan pokok-pokok pikiran tentang peran mahasiswa, konsep perkaderan dan peran organisasi ektra kampus, serta peran dan fungsi organisasi yang diikutinya, yakni Himpunan Mahasiswa Islam.
Di Bab ini, penyusun buku catatan harian Ahmad Wahib itu sempat menyatakan bahwa dirinya keluar dari HMI, karena banyak pemikirannya yang tidak tertampung, terutama dalam bidang ke-Islam-an, kendatipun pada akhirnya pria asal Sampang, Madura ini merasa puas, setelah HMI merumuskan landasan pemikiran ke-Islam-an yang disebut Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) pada Kongres IX di Malang yang isinya sesuai dengan pokok-pokok yang selama itu menjadi kegelisahan dirinya.
Sementara pada Bab IV, buku yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia ini lebih banyak mengupas catatan pribadi Ahmad Wahib, baik dengan tetangga, kerabat dan keluarganya yang ada di Sampang, Madura.
Islam Dinamis
Bagi Ahmad Wahib, Islam sebenarnya statis, akan tetapi pemahaman sosiologisnya adalah dinamis. Karena itu, maka wajar apabila kemudian banyak menawarna-warna tentang corak pemikiran Islam.
Sumber pokok tentang rujukan Islam yang statis ini, menurutnya hanya dua, yakni Al Quran dan Hadits. Akal atau yang biasa disebut ijtihad bagi Wahib tidak termasuk di dalamnya.
“Bila akal sebagai sumber, maka segala sesuatu yang menjadi produk akal yang kita rasa tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadits lalu bernama Islam,” katanya (halaman 20).
Akibatnya, maka akan muncul segala sesuatu yang serba Islam, seperti rumah Islam, bersepeda Islam dan berbegai jenis aktivitas duniawi yang serta Islam.
Namun, jika akal dijadikan sebagai alat, maka Islam akan termanifestasi dalam bentuk yang macam-macam atau warna-warni, karena akal juga bermacam-macam.
Barangkali berpijak pada pemikiran bahwa akal sebagai alat untuk memahami Islam itulah, Wahib akhirnya memilih untuk menjadi pemikir bebas, jauh dari rumusan kerangka pemikiran yang selama ini telah ditentukan oleh sebagian penganut Islam, termasuk memikirkan hal-hal yang dinilai sangat tabu dan bahkan dilarang untuk dipikirkan.
Seperti yang tertuang dalam catatan hariannya 28 Maret 1969, “Islam Menurut Saya = Islam Menurut Allah”.
Ahmad Wahib mempertanyakan Islam yang sebenarnya menurut pembuatnya, yakni Allah SWT, karena selama ini ia hanya tahu Islam melalui tokoh-tokoh dan ulama Islam.
“Aku baru tahun Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Subki dan Islam menurut yang lain-lain, dan terus terang aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yakni Islam menurut Allah, pembuatnya.”
“Bagaimana? Langsung studi dari Quran dan Sunnah? Akan kucoba. Tapi orang-orang lainpun akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kufahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!,” katanya (halaman 27).
Pergolakan pemikiran Ahmad Wahib tentang Islam tidak hanya sampai di situ, akan tetapi hingga pada hal-hal yang dianggap “sangat tabu” oleh mayoritas umat Islam, yakni tentang “Tuhan yang egois” (halaman 100), keaslian kalimat-kalimat dalam Al Quran apakah asli dari Tuhan atau berasal dari Nabi Muhammad yang berdasar pada wahyu berupa “inspirasi sadar” yang diterima dari Tuhan? (halaman 107).
Mengajak Berpikir
Membaca buku catatan harian Ahmad Wahib yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam” seolah menginspirasi untuk berpikir dan terus berpikir akan hakikat kebenaran Islam yang sebenarnya, saat ajaran yang bersumber dari Tuhan yang serba mutlak itu harus meruang dan mewaktu, dipahami makhluknya yang serba nisbi, menjadi sumber nilai kehidupan, berbangsa dan bernegara.
Dengan pemikiran bebas yang menempatkan akal sebagai alat untuk memahami Islam dan kebenaran hakiki, pria kelahiran 9 November 1942 ini seolah merefleksikan bahwa ia seorang pluralis dan toleran dalam menyikapi perbedaan paham keagamaan.
Bukti pluralisme pemikiran Wahib ini misalnya saat mempertanyakan Islam menurut Allah yang pada hakikatnya membuka ruang untuk mempersepsi Islam sesuai dengan kemampuan akal sehatnya dengan tetap mengacu kepada Al Quran dan Hadits sebagai sumber pokok ajaran dan nilai-nilai Islam.
Namun di satu sisi, sebenarnya letupan pemikiran dan kebebasan berpikir Ahmad Wahib ini merupakan fenomena yang belum selesai seperti yang dia sebutkan. “… aku bukan Wahib aku adalah me-Wahib. Aku mencari dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib” (halaman 55).
Karena dalam proses pencarian dan proses pemikiran inilah, maka isi buku catatan harian pemuda yang meninggal dunia pada 31 Maret 1973 tersebut, mengajak pembaca untuk berfikir, dan merasakan pergolakan pemikiran yang sedang ia alami. Buku ini, jauh sama sekali dari kesan menggurui.
Buku ini bukan tanpa kritik. Bahkan mantan Menteri Agama RI Prof Dr HM Rasjidi sempat menganggai sebagai “Halaman Suram dalam Kehidupan Islam” kala itu (halaman 372).
Meski demikian, tidak sedikit yang menganggap buku ini sebagai buah pemikiran segar, yang didasari pada fakta sosial tentang Islam yang terkesan jauh dari praktik nilai-nilai universal yang sebenarnya. Bahkan, Mantan Ketua PBNU yang juga Presiden RI periode 1999-2002 KH Abdurrahman Wahid menyebutkan bahwa “pemberontakan” pemikiran dengan meragukan Tuhan itu justru untuk mengukuhkan agama yang diyakininya itu.
“Siapa dapat mengatakan menjadi muslim bergolak dan pemberontah seperti Ahmad Wahib ini lebih rendah kadar dari ‘kemusliman’ mereka yang tidak pernah mempertanyakan kebenaran agama mereka sekalipun?,” kata Gus Dur dalam komentar buku itu. (Sumber: Antarajatim.com)