Oleh Abd Aziz*
Unjuk rasa atau menyampaikan aspirasi di ruang publik, mulai marak digelar di Indonesia, seiring dengan tuntutan refomasi, yang digulirkan masyarakat dan mahasiswa tahun 1998.
Sejak saat itu, berbagai kegiatan unjuk rasa di berbagai daerah sering digelar. Media informasi, seperti televisi, radio, koran dan media online, menjadi corong. Berkat peran media pula, maka pola penyampaian aspirasi bahkan ikut mempengaruhi pola aksi, semisal dengan cara teatrikal, aksi tutup mulut, hingga membakar ban bekas yang dianggap sebagai bentuk kritik.
Sebagian media menganggap bahwa pola aksi aksi unik seperti itu, merupakan bentuk “berita seksi”, menarik untuk diberitakan, dan akan menjadi perhatian pembaca, pendengar atau pemirsa.
Dengan alasan “berita seksi” ini pula, maka pola penyampaian aspirasi dengan cara dialog, audiensi, seolah kurang mendapatkan perhatian, kendatipun substansi inti persoalan yang hendak disampaikan penting untuk diketahui masyarakat luas.
Maraknya unjuk rasa di berbagai belahan di bumi Nusantara ini, ternyata juga tidak terjadi di Pamekasan. Bahkan volume aksi melebihi unjuk rasa di kota-kota besar seperti Surabaya dan Jakarta. Bahkan pernah pada suatu hari, sebanyak delepan kelompok massa berunjuk rasa di Pamekasan. [1]
Berdasarkan catatan akhir tahun yang dirilis Mapolres Pamekasan, tercatat selama 2013 kegiatan unjuk rasa yang digelar masyarakat di Kabupaten Pamekasan sebanyak 68 kegiatan, yakni mulai Januari hingga Desember 2013.
Jumlah ini sudah berkurang dibanding tahun 2012, sebab kala itu kegiatan unjuk rasa yang digelar warga terdata sebanyak 86 kegiatan, sesuai dengan surat pemberitahuan aksi yang disampaikan ke mapolres setempat [2].
Data aksi ini, merupakan aksi terpantau, yakni aksi yang dilaporkan secara resmi ke institusi Polres Pamekasan, sebab tidak sedikit, beberapa aktivis menggelar aksi dadakan tanpa menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu.
Keberadaan Media
Seiring dengan dibukanya kran reformasi itu pula, keberadaan media di negeri ini juga tumbuh subur. Perkembangan jumlah media massa di era reformasi mengalami lonjakan luar biasa dibanding pada era Orde Baru, dimana setahun pascareformasi dalam sehari terbit lima media massa baru.
Selama 32 tahun era Orde Baru hanya berdiri 289 media cetak, enam stasiun televisi dan 740 radio. Setahun pasca reformasi jumlah media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau bertambah enam kali lipat [3].
Jika dihitung dengan skala waktu, berarti setahun pascareformasi telah lahir 1.389 media cetak baru, atau 140 perbulan atau hampir lima media per hari dengan jumlah wartawan sekitar 40 ribu wartawan.
Hanya, menurut data Dewan Pers dari sekitar 40 ribu wartawan itu, hanya 20 persen atau sekitar 8.000 orang saja yang paham dengan kode etik jurnalistik dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang merupakan payung hukum bagi wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya di lapangan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa untuk masuk ke profesi wartawan begitu longgar, meski tanpa diimbangan dengan wawasan yang cukup, serta pendidikan yang memadai. Setiap orang sangat mudah mendirikan koran baru, tabloid, dan majalah.
Pesatnya pertumbuhan media, serta longgarnya aturan tentang pendirian media ini yang ditengarahi melahirkan liberalisasi media ini, diyakini oleh sebagian kalangan telah melahirkan terjadinya kebebasan pers yang cenderung kebablasan.
Tidak sedikit media-media yang cenderung mengabaikan kepentingan dan kemaslahatan umum, etika moral. Tidak aneh, “lomba” menyajikan berita lebih menarik dengan pola judul yang semi “bombastis” banyak menghiasi beberapa media selama kurum waktu pascareformasi berlangsung.
Seolah gayung bersambut dengan kecenderungan unjuk rasa yang juga marak diawal-awal Era Reformasi, maka, berita unjuk rasa menjadi berita yang cukup populer.
Berita “ricuh”, “bentrok dengan aparat”, sering kali menghiasi pemberitaan, apalagi hingga terjadi aksi anarkisme.
Peran Media
Media memiliki peran penting dalam membentuk karakter bangsa, karena disatu sisi, media merupakan pilar demokrasi keempat. Hanya saja, peran ini belum bisa diterapkan secara maksimal, sehingga yang mengemuka adalah sisi lain, yakni dampak negatif, seorang media menjadi virus akan terjadinya hal-hal yang merusak.
“Media Sehat, Negara Kuat” yang diusung pada Peringatan Hari Pers Nasional saat ini, sebenarnya merupakan semangat untuk menempatkan peran media di negeri yang lebih terarah, menjadi komunikator kepentingan bangsa yang sejalan dengan nilai-nilai dan ideologi bangsa.
Ada beberapa fungsi media dalam kehidupan sosial masyarakat, yakni fungsi pengawasan sosial, interpretasi, fungsi transmisi nilai dan fungsi hiburan [4].
1. Fungsi pengawasan media adalah fungsi yang khusus menyediakan informasi dan peringatan kepada masyarakat tentang apa saja di lingkungan mereka. Media massa meng-up date pengetahuan dan pemahaman manusia tentang lingkungan sekitarnya.
2. Fungsi interpretasi adalah fungsi media yang menjadi sarana
memproses, menginterpretasikan dan mengkorelasikan seluruh pengetahuan atau hal yang diketahui oleh manusia.
3. Fungsi transmisi nilai adalah fungsi media untuk menyebarkan nilai, ide dari generasi satu ke generasi yang lain.
4. Fungsi hiburan adalah fungsi media untuk menghibur manusia. Manusia cenderung untuk melihat dan memahami peristiwa atau pengalaman
manusia sebagai sebuah hiburan.
Dalam perkembangan selanjutnya, media massa mempunyai fungsi-fungsi baru, yaitu membentuk komunitas dan komunikasi virtual, seperti halnya kelompok internet di dunia maya.
Internet dapat dipahami sebagai alat atau media umum yang bisa secara komplit memenuhi fungsi media massa “tua” . Internet bisa menyempurnakan transaksi komersial, menyediakan dukungan sosial dan mengirim jasa pemerintahan.
Dalam media ada berita. Berita berpengaruh pada masyarakat dalam beberapa hal, antara lain dalam hal menetapkan agenda setting, gatekeeping, framing.
“Agenda setting” adalah pemahaman bahwa berita mempengaruhi agenda publik yang secara rutin diberitakan oleh media massa. “Gatekeeping” media bisa menjadi penjaga informasi atau penyaring informasi yang ditujukan kepada masyarakat.
Sedangkan “framing” terjadi ketika media massa membingkai beberapa isu yang ditonjolkan oleh media kepada masyarakat.
Dalam kontek pemberitaan, baik terkait aksi maraknya unjuk rasa, serta berbagai jenis pemberitaan lainnya yang dinilai oleh sebagai kalangan kurang berkontribusi positif terjadap kemajuan pembangunan, media memiliki peran yang sangat penting.
Agar terarah, maka setidaknya media harus berkontribusi pada apa yang disebut dengan istilah “difusi inovasi”, yakni berkontribusi atas seluruh pembaharuan dan inovasi yang berkembang dalam masyarakat, bukan cenderung bias, dan justru menjadi sumber masalah sosial.
Pemerintah melalui Dewan Pers sebenarnya telah berupaya untuk mengarahkan peran media yang lebih terarah, profesional dan akuntabel, baik kepala perusahaan media, maupun kepada wartawan yang bekerja di perusahaan media tersebut.
Kepada perusahaan pers, upaya perbaikan itu dilakukan melalui ketentuan tentang standarisasi perusahaan pers sebagai tertuang dalam surat edaran Dewan Pers Nomor 01/SE-DP/I/2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pers dan standar perusahaan pers yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers Bagir Manan.
Dalam edaran itu disebutkan setiap perusahaan pers sesuai Pasal 9 ayat 2 UU 40/1999 tentang Pers haruslah memiliki badan hukum Indonesia. Badan hukum yang dimaksud adalah berbentuk PT [5].
Guna meningkatkan profesionalisme jurnalis, Dewan Pers juga berupaya meningkatkan profesionelisme jurnalis, melalui uji kompetensi wartawan [6].
Ada tiga organisasi wartawan, tiga lembaga, 16 perusahaan media, 1 Depertemen dan 2 Perguruan Tinggi yang ditunjuk sebagai penyelenggara uji kompetasi wartawan [7].
Ketiga organisasi wartawan yang diakui Dewan Pers itu masing-masing Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikalan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Lalu Lembaga Pers Dr. Soetomo/LPDS (Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro), Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA (LKBN ANTARA), dan Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI).
Sedangkan perusahaan media yang dipercaya bisa menggelar uji kompetensi sendiri meliputi, Harian The Jakarta Post (PT Bina Media Tenggara), Harian Kompas (PT. Kompas Media Nusantara), Harian Rakyat Merdeka (PT. Wahana Ekonomi Semesta), Tempo (PT Tempo Inti Media), Harian Media Indonesia (PT. Citra Media Nusa Purnama), Harian Kedaulatan Rakyat (PT. Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat), Harian Solo Pos (PT. Aksara Solopos), Harian Lombok Post (PT. Suara Nusa Media Pratama), Harian Waspada (PT. Penerbitan Harian Waspada), Harian Fajar (PT. Media Fajar), Harian Bali Post (PT. Bali Post), Harian Singgalang (PT. Genta Singgalang Press), Harian Pikiran Rakyat (PT. Pikiran Rakyat Bandung), Harian Bisnis Indonesia (PT Jurnalindo Aksara Grafika), ANTV (PT. Cakrawala Andalas Televisi), dan MNC (PT. Media Nusantara Citra).
Adapun dua perguruan tinggi yang ditunjuk sebagai penyelenggara, masing-masing Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, UPN (Veteran) Yogyakarta, serta satu departemen, yakni Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
* Penulis adalah Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan, Pewarta Perum LKBN Antara wilayah Madura (Pamekasan, Sampang, Bangkalan). Tulisan ini disampaikan dalam sebuah sarasehan bertajuk “Dibalik Maraknya Aksi Unjuk Rasa di Pamekasan Kupas Undang-undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum” yang digelar oleh BEM Fakultas Hukum UNIRA di Aula SMK Negeri 3 Pamekasan pada 11 Maret 2015.