Salah satu dimensi manusia yang mempunyai peran penting dalam melaksanakan tugas kemanusiaan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (kholifa fi al-ardh) adalah akalnya. Yaitu suatu daya yang hanya dimiliki oleh manusia dan merupakan alat untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran.
Dimensi akal yang ada pada diri manusia ini pada dasarnya merupakan pembeda dari makhluk Tuhan yang sejenis dengannya. Manusia sebagaimana dalam ketentuan tektual normatif Alquran sejatinya adalah sejenis hewan, tetapi yang membedakan karena ia memiliki akal, sehingga manusia juga sering disebut dengan hewan yang berakal (hayawanun natiq).
Masalah akal ini, sepenuhnya juga mendapatkan perhatian Tuhan, tidak saja dalam hal memilih beberapa pertimbangan dalam menghadapi persoalan sosial kemasyarakatan (hablum minannas/hubungan manusia dengan sesama manusia), akan tetapi juga dalam menentukan antara hubungan manusia dengan Tuhan itu sendiri (hablum minallah).
Begitu pentingnya peran akal, sehingga ada hadits yang secara tegas menjelaskan, akan peran akal tersebut yang artinya menyatakan “Tidak ada keutamaan yang lebih besar yang didapat seseorang daripada kekuatan akal yang membawanya kearah petunjuk dan menjauhkannya dari malapetaka. Dan tidaklah sempurna iman seseorang, dan tidak pula akan istiqomah dirinya, hingga sempurna akalnya (HR Ath-Thabrani dari Ibnu Umar).
Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, akal terbukti memang bukan hanya sebatas pembeda antara manusia dengan hewan, akan tetapi juga berperan penting dalam menyelesaikan berbagai problematika sosial, termasuk dalam menetapkan aturan-aturan hukum yang tidak tertuang secara tektual normatif dalam sumber primer ajaran Islam, yakni Alquran dan Hadits.
Peristiwa ini bisa kita lihat, misalnya pada apa yang pernah dialami sahabat Muaz Bin Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah untuk menjadi hakim dan mengajar di Yaman.
Muaz Bin Jabal adalah seorang sabahat Rasulullah dari kelompok Al-Ansor (orang-orang yang menyambut kedatangan Rasulullah di Madinah dan membantunya) dari suku Khazraj. Nama lengkapnya adanya Muaz Ibnu Jabal Ibnu Amru Ibnu Aus Ibnu Aid Ibnu Adi Ibnu Kaab Ibnu Amru Al-Anshari Al-Khazraji. Ia bergelar Abu Abdurrahman dan memeluk Islam sejak waktu mudanya.
Sebelum berangkat sahabat ini ditanya oleh Rasulullah tentang bagaimana cara menyelesaikan permasalahan hukum.
“Aku akan putuskan dengan kitab Allah (Alquran), jika tidak aku dapatkan dalam kitab Allah akan akan putuskan dengan Sunnah Rasulullah. Jika tidak kudapatkan dari dua sumber itu, maka akan kuputuskan hukumnya dengan ijtihadku. Mendengar jawaban itu Rasulullah bersabda, Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq kepala rasul (utusan) dari Rasulullah”.
Cara dalam pengambilan keputusan hukum agama yang dikemukakan oleh Muaz dan dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan tertib hirarki Alquran, Al-Hadits dan ijtihad inilah yang dianut oleh sahabat Nabi Muhammad, baik semasa Nabi masih hidup, lebih-lebih setelah beliau wafat. Cara ini kemudian diikuti umat Islam dari generasi ke generasi sesudah sahabat .
Sewaktu Nabi masih hidup, kebutuhan akan ijtihad tentunya sangat jarang, sebab para sahabat bisa bertanya secara langsung kepada Nabi, apabila ada permasalah hukum yang tidak tertuang dalam Alquran dan Al-Hadits, maka sahabat bertanya langsung kepada Nabi.
Kebutuhan akan ijtihad ini dapat dipahami karena tiga hal. Pertama, karena perkembangan peradaban dan budaya manusia dengan berbagai kompleksitas permasalahan yang kian meningkat. Sementara sumber tektual normatif Islam, yakni Al Quran dan Hadits cenderung statis, dalam artian sudah menjadi rujukan yang final.
Oleh sebab itu, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, maka dibutuhkan pemikiran yang rasional, dengan tetap berorientasi pada kandungan nilai moral Al Quran dan Hadits yang disebut dengan ijtihad.
Kedua, ajaran Islam bersifat universal, mencakup berbagai aspek kehidupan. Di dalamnya terdiri dari prinsip-prinsi ajaran yang mengatur pola hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan Tuhan, maupun manusia dengan lingkungan sekitarnya. Universalitas ajaran agama yang turun di Arab kepada Nabi Muhammad ini, tertu tidak bisa mencakup dan mengjangkau semua aspek kehidupan sosial manusia yang terus berkembang, seiring dengan perkembangan zaman itu sendiri, baik ajaran tertuang dalam Al Quran maupun Hadits.
Ketiga, adanya keyakinan Islam merupakan agama terakhir dan Muhammad sebagai Nabi Terakhir. Keyakinan akan finalitas Islam dan kenabian Muhammad tersebut, pada akhirnya mendukung suatu ide bahwa ijtihad merupakan hal penting dalam rangka mengaktualisasikan ajaran Islam dalam konteks kekinian.
Ijtihad, merupakan wujud penggunaan akal dalam memahami pesan moral nilai agama. Dalam ijtihad itulah kreativitas manusia dan ketepatannya dalam memahami agama dipergunakan. Karena itu, agama juga menjanjikan kebaikan yang besar kepada orang yang melakukan ijtihad dan benar berupa pahala dua kali lipat, dan kalaupun hasil ijtihadnya salah, maka ia masih menerima pada tunggal. .
Dalam konteks ini, ijtihad sebenarnya merupakan usaha penalaran (pendayagunaan akal manusia) yang dilakukan untuk memperoleh suatu kesimpulan logis dalam masalah hukum, dilaksanakan oleh ulama (cendekiawan/ilmuan) untuk menarik suatu kesimpulan, guna mengefektifkan setiap ajaran hukum dalam Islam.
Dalam konteks ini pula, maka Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid memandang perlunya dikembangkan ijtihad di kalangan ummat Islam. Sebab, hanya dengan ijtihad ada harapan bahwa “kemasabodohan intelektual” yang melanda umat Islam selama ini dapat diatasi. Dengan ijtihad itu pula, akan ada harapan bahwa umat Islam akan mampu memecah “kejumudan” pemikiran dan pada akhirnya akan mampu tampil memimpin umat manusia dengan inisiatif-inisiatif dan kreativitas kultural yang bermanfaat untuk kemanusiaan sejagat.
Berpijak pada argumen diatas itulah, maka dapat ditarik proposisi bahwa maju mundurnya umat Islam, kaitannya dalam pengamalam Al Quran dan Hadits, dan mampu tidaknya agama yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW ini menjawab persoalan-persoalan baru (kekinian) yang timbul akibat perubahan dan perkembangan sosial adalah bergantung pada maju-mundurnya ijtihad. Dengan kata lain, peranan ijtihad dalam pengamalan Al-Quran dan Hadits akan menyempurnakan klaim bahwa Islam “Salihatun Likulli Zamanin Wa Makaanin (Islam itu pantas dijadikan pegangan dalam setiap ruang dan waktu)”. (Bersambung ke-H2)