Prof Dr Munawir Sjadzali dalam buku “Ijtihad Kemanusiaan” mencatat, di dalam Al Quran, terdapat sebanyak 43 ungkapan yang berkaitan dengan akal. Sebanyak 12 kali ungkapan memuat kalimat “Tidakkah kamu menggunakan akal”, 1 kali ungkapan memuat kalimat “Apakah kamu tidak menggunakan akal” dan sebanyak 8 kali ungkapan memuat kalimat “Hendaknya kalian menggunakan akal”, lalu 12 ungkapan memuat kalimat “Mereka tidak menggunakan akal dan sebanyak 5 kali ungkapan, memuat kalimat “kaum yang menggunakan akal”.
Implikasi dari pesan normatif tentang akal sebagaimana tertuang dalam teks Al Quran ini, pada hakikatnya mengharuskan manusia yakni umat Islam untuk menggunakan daya nalar yang dimilikinya itu dalam menjalankan tugas-tugas kemanusiaan di muka bumi ini. Sebab, menurutnya, Islam merupakan agama rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama yang didasarkan pada akal.
Akal inilah yang membuat manusia berbeda dengan hewan, dan dengan akal, manusia menjadi makhluk mulia. Kalau manusia dicabut akalnya, maka ia akan menjadi mahluk lain, mungkin malaikat dan mungkin pula hewan.
Dengan akalnya, manusia menjadi makhluk yang kreatif dan kaya akan kebijaksanaan, dan dengan mendayagunakan akalnya pula, ia menjadi makhluk yang berpengalaman luas, berilmu pengetahuan, dengan memiliki derajat yang lebih dibanding dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya, apabila mereka juga beriman (Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan…” (QS: 58:11).
Akal Nabi Adam
Adalah pantas untuk dijadikan pijakan normatif umat Islam tentang bagaimana urgensi peran akal bagi manusia dalam kisah Nabi Adam sebagaimana diceritakan di dalam Al Quran.
Sejak Adam diciptakan, ternyata manusia sudah berkelut dengan ilmu pengetahuan. Bahkan kemampuan manusia untuk mengetahui sesuatu secara sistematik merupakan hal pertama yang diperlihatkan Allah kepada makhluk ciptaannya yang lain. Tadinya, malaikan hanya mampu melihat sosok kebinatangan manusia, yakni sebagai makluk penumpah darah, mahluk yang selalu merusak dunia. Namun nyatanya ada sisi lain yang merupakan keunggulan manusia, lepas dari pengamatan malaikat.
Malaikat hanya terpaku saja ketika Allah memerintahkan menyebut berbagai ungkapan di alam ini, suatu pekerjaan yang dengan mudah dilakukan oleh Nabi Adam, atas seizin Allah SWT. Kemampuan Nabi Adam dalam menyebut istilah-istilah (al-asma’) yang diminta oleh Allah tersebut hanya dimungkinkan oleh adanya angerah Allah kepada suatu lembaga yang disebut dengan akal. Akal adalah sumber ilmu, tempat timbulnya sendi ilmu. Ilmu itu berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon kayu, sinar dari matahari, dan penglihatan dari mata.
Karakteristik manusia dibanding mahluk lainnya adalah akalnya, sehingga dengan akal itulah keberadaan manusia di muka bumi ini lebih mulia dari benda mati, tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Manusia adalah bentuk ciptaan Allah, merupakan mahluknya yang tertinggi, dan ia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk. “Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menciptakan manusia dalam bentun yang sebaik-baiknya (QS: Al-Tien: 4)”.
Sebagai mahluk yang tertinggi manusia dijadikan khalifah atau Wakil Tuhan di muka bumi untuk melestarikan dan memakmurkan bumi. “Dan Dialah Tuhan yang menjadikan kamu sekalian (umat manusia) sebagai khalifah-khalifah di bumi, serta melebihkan sebagian dari kamu atas sebagian yang lain bertingkat-tingkat untuk menguji kamu dalam hal-hal yang telah dikaruniakan kepada kamu. “Sesungguhnya Tuhanmu itu cepat siksanya (akibat buruk dari perbuatan manusia yang salah) dan Dia itu pastilah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (memberikan akibat baik atas perbuatan manusia yang benar) (QS: 6: 165)”.
Pengelolaan dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia dan manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya di dunia.
Menyadari akan peran otoritatif manusia yang telah diberikan Tuhan kepada mahluk yang paling sempurnya selama hidup di dunia ini, maka menjadi keniscayaan bahwa apapun yang akan terjadi pada manusia dalam menjalani kehidupan di dunia adalah bergantung pada manusia itu sendiri , karena wilayah duniawi, bukan wilayah Tuhan, tetapi merupakan wilayah manusia dimana ia menjadi pemilik atau atau rajanya.
Memang, hukum dasar dari segala yang ada ialah perubahan dan perkembangan. Sebab, segala sesuatu itu akan rusak (berubah), kecuali Tuhan. Hal itu, karena segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan oleh-Nya terjadi dalam suatu proses yang tiada henti.
Segala sesuatu ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tidak mengenal perubahan dan tidak akan berubah adalah Tuhan itu sendiri, yang merupakan asal dan tujuan segala sesuatu (Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun). Jadi, prinsip dasar segala sesuatu selain Tuhan adalah “perubahan”.
Konsep teologi bahwa segala sesuatu selain Tuhan adalah perubahan inilah yang menegaskan bahwa tugas pokok manusia sebagai Wakil Tuhan di muka bumi yang melestarikan dan memakmurkan bumi adalah selalu melakukan perubahan atau pembaruan.
Hal ini hanya dapat dilakukan oleh manusia melalui pendayagunaan akal yang telah diberikan Tuhan kepadanya, dan inilah yang menurut Iqbal sebagai “dasar pergerakan” dalam Islam atau yang disebut dengan “ijtihad” . Dalam konteks inilah optimalisasi fungsi dan peran akal sangat dibutuhkan agar manusia mampu melaksanakan tugas kemanusiaannya di muka bumi.
Ijtihad pada prinsipnya merupakan upaya untuk mengantisipasi tantangan baru yang senantiasa muncul akibat evolusioner kehidupan . Dengan demikian, ijtihad tidak hanya sebatas kebutuhan, akan tetapi lebih dari itu, ijtihad juga menjadi keharusan.
Kegiatan berijtihad (tajdid) sebagai salah satu implementasi ajaran Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat ini, pada dasarnya membawa dua misi. Pertama, mengembalikan semua bentuk kehidupan pada contoh zaman awal (pristine).
Sebagai upaya penting yang dilakukan adalah membentengi keyakinan, akidah Islam serta berbagai bentuk ritual tertentu dari pengaruh sesat. Gerakan dan pemikiran keagamaan yang berorientasi pada tujuan ini, sering disebut dengan purifikasi. Kedua, sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan. Implementasi tersebut terutama berkaitan dengan muamalah tertentu seperti sosial kemasyarakatan, dan masalah-masalah kemanusiaan yang sumber dasar ajaran Islamnya tidak memberi rincian secara mendalam, tetapi hanya memberikan prinsi-prinsi secara umum. Gerakan yang memperjuangkan gagasan ini biasanya dikenal dengan gerakan “renewel” atau “modernisme”. (Bersambung-H3)