Periklanan dan Budaya Konsumen

Dosen Titik Puji Rahayu, M.Com saat menyampaikan kuliah 16 Agustus 2017 di Fisip Unair Surabaya, Prodi Media dan Komunikasi.

Oleh Titik Puji Rahayu, M.Com
Iklan dan Budaya Konsumen menjadi pembahasan yang menarik pada kuliah yang disampaikan oleh dosen jurusan Faklutas Ilmu Sosial dan Politik 16 Agustus 2017.

Ia memulai kuliah dengan mengungkap wawasan peserta tentang kapitalisme, karena menurutnya, kecenderungan konsumtif yang terjadi di masyarakat salah satunya karena pengaruh iklan yang sengaja diciptakan secara sistematik untuk menciptakan “brand” akan suatu produk.

Beberapa mahasiswa mengungkapkan bahwa kapitalisme adalah sekelompok kaum pemudal yang menguasai usaha, dan menciptakan pasar guna melancarkan usaha mereka. “Ada ekploitasi dan ada buruh yang tertindas”.

Melalui serap informasi wawasan kepada mahasiswa S2 Media Komunikasi inilah, dosen Titik lalu memulai penjelasannya. Ia menyebutkan bahwa kapitalisme sebenarnya berbanding lurus dengan konsumen. Kapitalisme tidak akan maju dan berkembang, apabila tidak mendapatkan respon dari konsumen.

“Sebab produksi dan konsumsi adalah dua hal tidak bisa dipisahkan”. Demikian dosen berjilbab ini, menjelaskan.

Diceritakan, bahwa munculnya kapitalisme ini awalnya sebenarnya sebagai bentuk perlawanan atas otoritas gereja pada masa lalu, oleh kalangan borjuis yang ingin mencaru keuntungan lebih, dengan modal sedikit, tapi hasil yang optimal.

Gerakan para pemilik modal ini semakin meluas berkat dukungan aktif media berupa iklan produk dan beragam propaganda lainnya yang menguntungkan pada sisi usaha mereka.

Pemikiran Tokoh
Pemikiran Max Weber, seorang ekonom dan sosiolog Jerman menjadi salah satu pembahasan di mata kuliah ini.

Weber menulis bahwa kapitalisme berevolusi ketika etika Protestan (terutama Calvinis) memengaruhi sejumlah orang untuk bekerja dalam dunia sekuler, mengembangkan perusahaan mereka sendiri dan turut beserta dalam perdagangan dan pengumpulan kekayaan untuk investasi.

Dalam kata lain, etika Protestan adalah sebuah kekuatan belakang dalam sebuah aksi massal tak terencana dan tak terkoordinasi yang menuju ke pengembangan kapitalisme. Pemikiran ini juga dikenal sebagai “Thesis Weber”.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa buku ini tidak boleh dilihat sebagai studi yang terinci tentang Protestanisme melainkan lebih sebagai pengantar ke dalam karya-karya Weber yang belakangan, khususnya studinya tentang interaksi antara berbagai gagasan keagamaan dan ekonomi.

Dalam Etika Protestan dan Semganta Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan gagasan-gagasan Puritan telah memengaruhi perkembangan kapitalisme. Namun, devosi keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan.

Ia mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai gagasan dan kebiasaan yang menunjang pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidaklah terbatas pada budaya Barat bila hal itu dipandang sebagai sikap individual, namun bahwa upaya individual yang heroik — demikian ia menyebutnya — tidak dapat dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa kerja adalah suatu kutukan dan beban yang harus dihindari khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan yang sederhana.

“Agar suatu gaya hidup yang teradaptasi dengan sifat-sifat khusus dari kapitalisme… dapat mendominasi gaya hidup yang lainnya, ia harus muncul dari suatu tempat tertentu, dan bukan dalam pribadi-pribadi yang terpisah saja, melainkan sebagai suatu gaya hidup yang umum dari keseluruhan kelompok manusianya,” pemikiran Weber.

Setelah mendefinisikan ‘semangat kapitalisme’, Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk menemukan asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi.

Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan — logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi.

Weber menelusiri asal usul etika Protestan pada Reformasi. Dalam pandangannya, di bawah Gereja Katolik Roma seorang idnvidu dapat dijamin keselamatannya melalui kepercayaan akan sakramen-sakramen gereja dan otoritas hierarkhinya. namun, Reformasi secara efektif telah menyingkirkan jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa, meskipun Weber mengakui bahwa seorang “genius keagamaan” seperti Martin Luther mungkin dapat memiliki jaminan-jaminan tersebut.

Selain Weber, tokoh lain yang juga dijelaskan menyumbangkan jasa bagi pengembangan kapitalisme ialah Karl Mark.

Tradisi intelektual Marx dan Weber banyak dipengaruhi oleh apa yang disebut oleh Alan S Kahan (2012) sebagai pemikiran periode ‘bulan madu’ antara intelektual dan kapitalisme. Max Weber, dalam pandangannya tentang kapitalisme banyak mengkritisi penulis Das Kapital tersebut.

Misi Budaya Dalam Dunia Perdagangan
Di bagian akhir, dosen Titik Puji Rahayu juga menjelaskan, hubungan perdagangan dengan misi budaya.

Menurut dia, selalu ada misi budaya yang juga diekspor bersamaan dengan barang dijual. Menelitis perdangan yang laris di pasaran, menurut dia, merupakan salah satu upaya agar bisa mengungkap misi budaya dalam perdagangan tersebut. (Dirangkum oleh: Abd Aziz pada Kuliah Periklanan dan Budaya Konsumen, 16 Agustus 2017)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s